Jakarta, CNN Indonesia --
Ukraina baru-baru ini mengambil risiko besar dengan mengekspos warga China yang membantu Rusia memerangi Kyiv di hadapan media.
Mempertunjukkan tawanan perang (Prisoners of War/POW) di hadapan media hampir pasti merupakan pelanggaran hukum humaniter internasional.
Kendati begitu, risiko ini diambil Ukraina kemungkinan karena merasa fakta adanya keterlibatan China, baik langsung maupun tak langsung, dalam perang Rusia vs Ukraina perlu diketahui seluruh dunia, terutama pihak-pihak yang belakangan justru mendekat kepada Beijing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejumlah negara beberapa waktu terakhir ini memang tampak mendekatkan diri kepada China buntut tarif yang diterapkan Amerika Serikat.
Dilansir dari CNN, pemerintah Ukraina pada Senin (14/4) menggelar konferensi pers dengan membawa serta dua warga China yang tertangkap di medan perang.
Dalam jumpa media itu, kedua warga China menceritakan bagaimana tawaran gaji dari Rusia memainkan peran kunci dalam keterlibatan mereka di invasi ini.
Menurut salah satu individu, Rusia menawarkan bayaran 250.000 rubel (sekitar Rp50 juta) per bulan bagi yang berkomitmen gabung dengan militer. Jumlah ini jauh di atas rata-rata gaji di China.
Para tawanan ini mengeklaim mulanya ditawari pekerjaan non-tempur oleh perekrut. Namun, begitu tiba di Moskow, mereka justru dipaksa berlatih untuk terjun langsung ke medan perang.
Para tawanan mengatakan telah menandatangani dokumen yang tertulis dalam bahasa Rusia. Mereka tak paham bahasa Rusia dan hanya berkomunikasi lewat isyarat.
CNN diperlihatkan kontrak militer oleh sumber intelijen Ukraina, yang ditulis dalam bahasa Rusia. Dalam kontrak itu antara lain disebutkan bahwa sukarelawan akan bekerja selama satu tahun dan "berpartisipasi dalam pertempuran" untuk membela Rusia.
Tujuan Ukraina
Tujuan Kyiv menampilkan kedua tawanan perangnya ini diduga kuat karena situasi politik dan ekonomi global sekarang.
Kyiv saat ini berusaha mendapatkan perhatian Presiden AS Donald Trump, yang tidak membuat banyak kemajuan dalam membujuk Kremlin agar setuju gencatan senjata penuh.
AS, pada waktu yang sama, sedang fokus terhadap China karena perang dagang yang diletuskan Trump.
Dari sudut pandang Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, ia tampaknya ingin menunjukkan bahwa dukungan China untuk Rusia mungkin lebih dari sekadar diplomatik dan ekonomi.
Ukraina sendiri kelihatannya juga tak cuma ingin mengambil perhatian Trump. Kyiv bisa jadi turut membidik Uni Eropa, yang belakangan terjerat tarif impor tinggi Trump dan berusaha mencari solusi bersama dengan China.
"Tiba-tiba tampaknya ada potensi bagi Eropa dan China untuk menemukan titik temu dalam hal lain," kata Anders Puck Nielsen dari Royal Danish Defence College kepada CNN.
"Ini jelas merupakan langkah politik untuk benar-benar menekankan aspek ini (warga China membantu tentara Rusia perang)," lanjutnya.
Sebelum ini, Ukraina sendiri sudah pernah mengekspos tawanan perangnya yang lain yang berasal dari berbagai negara.
Menurut daftar yang dilihat CNN, tawanan perang Ukraina di Rusia pada akhir 2024 mencakup enam warga negara Sri Lanka, tujuh warga Nepal, dan sejumlah individu dari Somalia, Republik Kongo, Sierra Leone, Mesir, Suriah, hingga negara-negara bekas Soviet.
Pada Januari, Ukraina juga telah menangkap dua orang warga Korea Utara yang termasuk di antara 14.000 prajurit yang dikirim Pyongyang ke Moskow.
Mengenai tawanan dari China, Zelensky sudah mengaku belum memiliki informasi mengenai keterlibatan pemerintah China dalam perekrutan warganya ke Rusia. Namun, ia percaya bahwa para pejabat China tahu akan hal ini.
China selalu menyatakan posisi netral dalam perang Rusia vs Ukraina. Beijing juga berulang kali memperingatkan warganya agar tidak terlibat dalam konflik asing.
Meski begitu, sebagai sekutu dekat Rusia, tindakan China amat diawasi ketat Ukraina.
Kementerian Luar Negeri China sudah mewanti-wanti berbagai pihak untuk tidak merilis pernyataan tak bertanggung jawab mengenai Beijing, tanpa merujuk pada nama siapa pun.
"Kami mendesak pihak-pihak terkait untuk memahami peran China dengan benar dan bijaksana dan tidak merilis pernyataan yang tidak bertanggung jawab," kata juru bicara kementerian luar negeri Lin Jian.
(blq/bac)