REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengkritisi kondisi penerimaan negara yang lamban, sementara posisi utang—termasuk bunganya—kian membengkak. Menurut catatan, belanja bunga utang saja tercatat naik dua kali lipat pada 2025 dibandingkan tahun 2019.
“Dalam enam tahun terakhir, belanja bunga utang meningkat tajam dari Rp 276 triliun pada 2019 menjadi proyeksi Rp 553 triliun pada 2025, atau tumbuh lebih dari dua kali lipat (100,4 persen),” ujar Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, Rizal Taufikurahman, dalam Diskusi Publik Indef bertajuk ‘Penerimaan Loyo, Utang Kian Jumbo’ yang digelar secara virtual, Rabu (9/7/2025).
Rizal mengungkapkan, kenaikan belanja bunga utang tersebut melampaui pertumbuhan belanja prioritas lainnya, seperti bantuan sosial, belanja modal, serta transfer ke daerah. “Ini menandakan tekanan fiskal yang semakin berat akibat pembiayaan utang yang terus membesar,” kata dia.
Rizal menyebut, jika utang membesar kemudian dibelanjakan untuk memberi nilai tambah dan memperbaiki kinerja produk domestik bruto (PDB) riil sehingga bisa konsolidasi pertumbuhan dan memperbaiki struktur fiskal, itu tidak masalah. Namun, kenyataannya tidak demikian. “Nyatanya, justru ini menjadi tantangan tersendiri,” tuturnya.
Berdasarkan catatan, realisasi belanja bunga utang pemerintah hingga semester I 2025 mencapai Rp 257,1 triliun atau 46,5 persen dari pagu APBN 2025 sebesar Rp 552,9 triliun. Angka tersebut sedikit lebih rendah dibandingkan realisasi semester I 2024 yang mencapai 48,3 persen dari pagu.
“Porsi bunga utang di dalam negeri masih mendominasi dengan porsi 91,5 persen dari total realisasi semester I 2025. Ini menunjukkan ketergantungan tinggi terhadap pembiayaan domestik,” ujar Rizal.
Rizal menerangkan, rasio utang pemerintah terhadap PDB memperlihatkan pola ‘U terbalik’ dalam lima tahun terakhir. Tercatat, rasio utang pemerintah terhadap PDB relatif rendah pada 2019 sebesar 33,7 persen. Lonjakan tajam terjadi pada 2020—2022 mencapai puncak 45,5 persen karena kombinasi kontraksi PDB akibat pandemi dan pembiayaan defisit besar untuk stimulus fiskal.
Dengan pemulihan ekonomi pada medio 2023—2024 dan kebijakan konsolidasi (defisit APBN ditahan di bawah 3 persen dari PDB), rasio turun kembali di kisaran 39—40 persen.
“Perlu ada pemulihan terhadap kinerja penerimaan untuk menekan pembiayaan fiskal kita dari utang. Terutama berkaitan dengan bagaimana ketergantungan pembiayaan yang tinggi, yang selama ini didominasi oleh pembiayaan domestik,” tegasnya.