REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gerakan nol sampah atau zero waste dinilai sebagai salah satu solusi paling nyata dalam menghadapi krisis iklim, asalkan dipandang dengan perspektif lintas sektor dan berbasis keadilan. Climate Program Officer di Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA), Yobel Novian Putra, mengatakan isu zero waste tidak hanya tentang kebersihan atau sampah, tetapi juga perjuangan atas sumber daya alam.
“Kami ingin memastikan sumber daya itu tidak terbuang di hilir dan tidak mendorong ekstraksi baru di hulu,” kata Yobel dalam kegiatan Koordinasi Jaringan Kelompok Masyarakat Sipil Terkait Isu Sampah dan Krisis Iklim, Selasa (7/10/2025) lalu.
GAIA merupakan jaringan organisasi akar rumput terbesar di dunia yang bergerak pada isu sampah dan keadilan iklim. Salah satu jaringannya di Indonesia adalah Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI). Melalui jejaring ini, GAIA berupaya membangun narasi baru tentang pengelolaan sampah yang menempatkannya dalam kerangka keadilan ekologis dan sosial.
Menurut Yobel, kontribusi sampah terhadap emisi global memang hanya sekitar 3 hingga 5 persen. Namun, angka itu menyesatkan jika hanya dilihat dari kategori sektor iklim konvensional.
“Pemerintah sering memandang sampah hanya sebagai urusan kebersihan, padahal persoalan ini berkaitan langsung dengan produksi, konsumsi, dan sistem ekonomi material,” ujarnya.
Ia menegaskan, lebih dari 60 persen emisi global sebenarnya berasal dari rantai material, mulai dari ekstraksi sumber daya alam, produksi, hingga distribusi. Plastik menjadi salah satu contoh nyata karena berasal dari bahan bakar fosil dan berkontribusi besar terhadap ketidakadilan lingkungan. “Plastik adalah fossil fuel,” tegas Yobel.
“Masalahnya bukan di sampah plastiknya, tapi pada industrinya yang terus mengekspansi produksi dan mendapatkan insentif besar,” ujarnya.
Yobel menyoroti kebijakan Indonesia yang memberi insentif pajak selama 25 tahun bagi industri petrokimia besar, sementara masyarakat justru menanggung dampak lingkungan di sekitar kawasan industri tersebut. “Ini bukan lagi isu sampah, tapi isu industri dan keadilan,” katanya.
Di tingkat global, Yobel menyebutkan, emisi dari produksi dan pembakaran plastik pada 2050 diperkirakan setara dengan 615 pembangkit listrik tenaga batu bara di Amerika Serikat. Tren ini diperparah dengan meningkatnya pembakaran plastik dalam pabrik semen dan PLTU di berbagai negara, termasuk Indonesia.