8000 Hoki Online Data ID web Slot Gacor Indonesia Terbaik Mudah Lancar Menang Banyak
hoki kilat Pusat ID web Slot Gacor Japan Terbaru Gampang Lancar Jackpot Full Setiap Hari
1000hoki Data ID situs Slot Gacor Philippines Terpercaya Pasti Lancar Jackpot Full Online
5000hoki.com List Login website Slot Gacor Malaysia Terbaru Pasti Lancar Menang Full Setiap Hari
7000 hoki List Akun situs Slot Maxwin China Terbaru Mudah Lancar Scatter Full Banyak
9000 hoki ID website Slot Maxwin China Terpercaya Gampang Menang Terus
Situs Slot Maxwin basis Malaysia Terbaik Pasti Scatter Online
Idagent138 Id Slot Anti Rungkad Terpercaya
Luckygaming138 login Id Slot
Adugaming login Akun Slot Online
kiss69 Id Slot Gacor Terpercaya
Agent188 Akun Slot Gacor Terpercaya
Moto128 Id Slot Game Online
Betplay138 Akun Slot Anti Rungkad Terbaik
Letsbet77 Daftar Akun Slot Game
Portbet88 Daftar Slot Maxwin Online
Jfgaming168 Slot Maxwin
Mg138 Slot Game
Adagaming168 Id Slot
Kingbet189 Id Slot Anti Rungkad Terpercaya
Summer138 Slot Maxwin
Evorabid77 Slot Gacor Terbaik
bancibet Id Slot Anti Rungkat Terbaik
adagaming168 Daftar Akun Slot
Oleh: Hesti Ariestina
Akademisi, Lulusan S3 Pendidikan Dasar UNY
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Permendikdasmen No. 9 Tahun 2025 resmi memperkenalkan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai bagian dari upaya penguatan mutu pendidikan nasional. Di atas kertas, kebijakan ini tampak menjanjikan. Tes ini digadang-gadang menjadi instrumen untuk memotret capaian belajar siswa, mendukung penyetaraan mutu pendidikan secara nasional dan sebagai salah satu syarat penerimaan murid baru. Namun, dua pertanyaan besar belum terjawab dengan jelas: apa sebenarnya yang dimaksud dengan "kemampuan akademik"? Dan apa sebenarnya yang hendak diukur oleh tes ini?
Dalam dokumen resmi peraturan ini, frasa “kemampuan akademik” disebutkan berulang, namun sayangnya tidak pernah dijelaskan secara rinci. Tidak ada indikator atau standar akademik yang dijadikan rujukan. Apakah kemampuan akademik merujuk pada capaian pembelajaran (CP) dalam Kurikulum Merdeka? Atau mengacu pada kemampuan berpikir dalam taksonomi Bloom seperti analisis, evaluasi, dan penciptaan? Atau merujuk pada kemampuan berpikir anak usia 12 tahun – 15 tahun dan 18 tahun sesuai dengan grand theory perkembangan kemampuan anak? Ataukah hanya berkutat pada literasi dan numerasi dasar seperti yang selama ini diuji dalam Asesmen Nasional?
Ketidakjelasan ini dapat mengarah pada permasalahan yang lebih luas: standarisasi tanpa standar. Tes yang semestinya menjadi alat ukur yang adil, transparan, dan informatif, justru berpotensi menjadi kebijakan yang menimbulkan kebingungan (baik bagi guru, sekolah, maupun peserta didik).
Hal ini menjadi sangat penting karena TKA mungkin saja akan berbanding terbalik dengan Kurikulum Merdeka yang saat ini berlaku. Kurikulum Merdeka pada prinsipnya menekankan pada diferensiasi pembelajaran, penyesuaian dengan konteks lokal, serta penguatan kompetensi berpikir kritis dan reflektif siswa. Walaupun masih terdapat berbagai kelemahan pada tingkat penerapannya. Sementara, TKA jika menjadi sebuah tes nasional tunggal akankah dapat merepresentasikan kompleksitas dan keberagaman proses belajar yang bersifat personal dan kontekstual?
Di satu sisi, Kurikulum Merdeka menawarkan pendekatan yang progresif: memberi ruang pada keberagaman kemampuan dan minat siswa, serta menekankan proses belajar yang kontekstual dan bermakna. Namun di sisi lain, negara tetap membutuhkan sistem evaluasi makro yang dapat menjadi alat ukur perkembangan pendidikan secara nasional. Di sinilah dilema muncul: bagaimana menggabungkan kebutuhan standarisasi dalam bentuk tes nasional, dengan pendekatan pembelajaran yang bersifat individual dan fleksibel? Tanpa kejelasan indikator dan keterpautan dengan capaian pembelajaran yang telah disusun dalam Kurikulum Merdeka, Tes Kemampuan Akademik dikhawatirkan justru menjadi alat ukur yang tidak selaras dengan arah pembelajaran yang sedang dikembangkan.
Ironisnya, jika TKA ini hanya menjadi versi baru dari Ujian Nasional dengan nama berbeda, maka kita seolah sedang berjalan mundur dari semangat merdeka belajar. Kita kembali ke pendekatan lama yang menekankan penyeragaman hasil. Lebih dari itu, yang kita khawatirkan bukan hanya soal kebingungan teknis, melainkan kemungkinan distorsi orientasi belajar. Jika TKA menjadi alat ukur dominan, maka proses belajar di sekolah bisa saja dikembalikan ke “drill soal”, menghafal, dan orientasi nilai semata.