REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Aliansi Masyarakat Simalungun menyatakan penolakan terhadap klaim tanah adat yang diajukan sekelompok masyarakat di wilayah Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara.
Pernyataan sikap ini disampaikan sebagai respons atas polemik terkait klaim tanah adat di Nagori Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik.
"Membuktikan dan menegaskan bahwa tidak ada dan tidak dikenal istilah Masyarakat Adat dan Tanah Adat di Simalungun, sejak abad ke-8 Masehi sampai zaman Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ujar Ketua Umum DPP Persatuan Alumni Cendekiawan Simalungun (PACS), Sarmedi Purba dalam keterangannya, Kamis (2/10/2025).
Aliansi Masyarakat Simalungun juga mengingatkan adanya potensi konflik horizontal akibat klaim tanah adat oleh komunitas yang menamakan diri Lembaga Adat Keturunan Pomparan Ompu Manontang Laut Ambarita Sihaporas (LAMTORAS).
Menurut mereka, keberadaan marga Ambarita di wilayah itu sejak awal hanya sebatas diberi izin bermukim dan bercocok tanam oleh Raja Siantar bermarga Damanik, bukan sebagai pemilik tanah ulayat.
Selain itu, Aliansi menegaskan tidak ada dasar hukum maupun peraturan daerah yang mengatur tanah adat di Simalungun. Bahkan, UU Agraria sejak zaman Belanda menyebut tanah bekas kerajaan otonom tidak bisa dijadikan tanah adat.
Atas kondisi ini, Aliansi Masyarakat Simalungun mendesak Presiden Prabowo Subianto dan kementerian terkait untuk mengambil langkah tegas.
Mereka meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian ATR/BPN memberikan penjelasan terbuka terkait status wilayah Sihaporas, termasuk keberadaan sertifikat wilayah adat yang diterbitkan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) pada 2019.
“Kami telah melaporkan saudara Bane Raja Manalu (A-161/F.PDIP/Dapil Sumatera Utara III) ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI dalam dugaan pelanggaran kode etik atas pernyataan yang tidak berdasar, dan berpotensi menimbulkan eskalasi konflik horizontal,” kata tokoh masyarakat Simalungun, Samsudin Manan Sinaga.
Di sisi lain, Aliansi Masyarakat Simalungun juga menyampaikan aspirasi sejarah. Mereka mendorong agar Tuan Rondahaim Saragih, tokoh perlawanan Simalungun yang telah dianugerahi Bintang Jasa Utama pada 1999, ditetapkan sebagai pahlawan nasional pertama asal Simalungun.
Selain itu, mereka mengusulkan pembangunan Monumen Sejarah Kerajaan Simalungun Raja Maropat dan Harajaon Marpitu, serta memasukkan sejarah peradaban Simalungun ke dalam muatan lokal di sekolah-sekolah di Kabupaten Simalungun.
Pernyataan sikap ini didukung sejumlah tokoh lintas organisasi Simalungun, di antaranya Marim Purba, Hermanto Hamongan Sipayung, John Riahdo Girsang, Mariaman Purba, Johannes Saragih, Rikkot Damanik, Jan Roiko Purba, dan Gullit L Saragih.