Jakarta, CNBC Indonesia- Ketika Amerika Serikat (AS) menutup pintu, China semakin mengalirkan barangnya ke Asia Tenggara. Barang-barang asal China kini mengalir deras dan Indonesia dengan pasar raksasa dan hambatan dagang yang longgar jadi muara yang sempurna.
Tekanan tarif tinggi dari Presiden AS Donald Trump membuat ekspor China ke Negeri Paman Sam terjun bebas, anjlok 34,5% secara tahunan pada Mei 2025.
Sebaliknya, ekspor ke Indonesia justru naik 11% dalam periode yang sama. Bahkan, hanya dalam Maret hingga Mei 2025, pengiriman barang dari China ke Indonesia naik 14,34% menjadi US$7,09 miliar. Asia Tenggara kini bukan hanya pasar alternatif, tetapi juga diduga menjadi saluran transshipment untuk menghindari tarif AS.
Imbasnya terasa jelas di pelabuhan-pelabuhan Indonesia. Dari data realisasi impor Januari-April 2025, tercatat bahwa serta mesin dan peralatan mekanis (HS 84) menempati posisi teratas barang impor dari China masing-masing senilai US$5,8 miliar dan US$5,3 mllar naik 13,5% dan 10% dibanding periode yang sama tahun lalu.
dan
Di balik lonjakan angka, tersimpan cerita soal potensi "dumping" dan "transshipment". Laporan BCA bertajuk Sinking through the fog menyebutkan bahwa lonjakan impor China tidak sepenuhnya mencerminkan permintaan riil industri Indonesia, tetapi kemungkinan besar akibat aliran barang berlebih dari China yang gagal masuk AS.
Jika benar, dalam jangka pendek, barang murah ini mungkin menekan inflasi, tapi dalam jangka panjang bisa menghancurkan industri dalam negeri terutama manufaktur, yang kini PMI-nya sudah dua bulan berturut-turut di bawah 50, zona kontraksi.
Tak sedikit pengusaha tekstil dan baja yang mulai kewalahan. PHK terjadi, mesin-mesin mulai berhenti berputar, dan neraca perdagangan Indonesia dengan China makin jomplang. Defisit Januari-April 2025 dengan China menyentuh US$6,28 miliar, dua kali lipat dari periode sama tahun lalu.
Imbasnya? di satu sisi, barang murah memperkaya pilihan konsumen. Tapi di sisi lain, jika tak hati-hati, kita hanya akan menjadi pasar transit dalam peta besar strategi dagang global. Yang dibutuhkan bukan hanya data dan retorika, tapi juga keberanian membuat kebijakan yang melindungi produsen dalam negeri tanpa terjerumus dalam proteksionisme buta.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)