Catatan Cak AT: Wajah Beethoven Setelah Dua Abad

1 day ago 5

 Dok RUZKA INDONESIA) Foto Ludwig van Beethoven ditampilkan dengan kecangihan AI. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Tepat 200 tahun setelah Ludwig van Beethoven menghembuskan napas terakhirnya, para ilmuwan dan ahli komputer memutuskan bahwa sudah saatnya kita mengetahui kebenaran yang selama ini mengganggu peradaban: Seperti apa sebenarnya wajah Beethoven itu?

Bukan, ini bukan pertanyaan yang diajukan oleh anak TK saat mengenal nada do-re-mi. Ini pertanyaan yang rupanya menghantui para ahli forensik, sejarawan, dan tentu saja, penggemar AI yang sedang bosan membuat wajah Napoleon tersenyum atau Yesus dengan hoodie.

Dengan menggabungkan foto tengkoraknya abad ke-19, teknik pemodelan wajah, serta kecanggihan AI, seorang grafis desainer Brasil bernama Cicero Moraes akhirnya menghadirkan wajah digital Beethoven. Wajah yang kini beredar di layar-layar gadget sejagat.

Baca juga: Karya Para Desainer Depok Tampil Memukau di Catwalk IFW 2025

Dan hasil rekayasanya? Sesuai ekspektasi publik: alis tebal menukik, wajah seperti baru saja mendengar Do yang fals, dan ekspresi yang lebih menyerupai manajer logistik menjelang deadline daripada maestro musik klasik.

Mari kita ingat kembali siapa sebenarnya pria ini. Ludwig van Beethoven (1770–1827), anak dari penyanyi istana yang juga peminum kronis dan ibunya yang penyabar (mungkin satu-satunya orang yang bisa tahan dengannya), lahir di Bonn, Jerman.

Ia dipaksa belajar musik dari usia dini dalam gaya parenting yang bisa kita sebut: metode Mozart KW. Ketika dewasa, Beethoven menjadi bintang musik klasik, pionir antara era Klasik dan Romantik, serta komposer yang secara harfiah menciptakan simfoni.

Baca juga: Komunitas Ketoprak Guru Besar UI Pentaskan Lakon Ciung Wanara, Kuatkan Kejayaan Budaya Sunda

Menariknya, atau jeniusnya, ia mencipta bunyi-bunyian dan nada musik dalam keheningan — karena ia benar-benar tuli.

Ya, sungguh ia itu tuli. Namun tetap produktif. Seakan telinganya berhenti bekerja tapi otaknya malah menambah shift malam.

Tapi tentu saja, wajah masam Beethoven tak muncul begitu saja seperti ide mendadak di tengah konser. Penelitian DNA pada tahun 2023 menemukan bahwa ia meninggal di usia 56 tahun karena kombinasi mematikan.

Dia diduga mengidap penyakit liver, hepatitis B, kecanduan alkohol, dan predisposisi genetik. Atau dengan kata lain: Beethoven bisa saja menjadi duta besar kesehatan masyarakat dalam iklan “apa yang jangan dilakukan”.

Baca juga: Catatan Cak AT: Berhaji Itu Undangan Menjadi Tamu Allah

Sebagai bonus, analisis genetik juga menyebutkan kemungkinan adanya skandal keluarga, dengan seorang anak dari hubungan di luar nikah dalam garis keturunan Beethoven. Dengan kata lain, bahkan setelah 200 tahun, hidupnya masih bisa dijadikan sinetron.

Beethoven bukan tipe yang mudah diajak ngobrol santai di kafe. Ia digambarkan oleh banyak saksi sebagai orang yang irit bicara, pemarah, jorok, dan tidak menyukai manusia — kecuali jika manusia itu membawakan kopi dengan rasio tepat: tiga butir biji kopi per cangkir. (Fakta ini nyata, dan entah harus ditertawakan atau dikagumi).

Namun di sisi lain, ia juga dikenal bisa jenaka, penyayang, dan anehnya romantis. Simfoni No. 9-nya yang meledak-ledak dan penuh semangat persaudaraan (yang konon ditulis saat ia sudah sepenuhnya tuli), membuktikan bahwa dalam kedalaman kemurungannya tersimpan harapan bagi kemanusiaan — meski ia sendiri mungkin malas hadir di pesta ulang tahun siapa pun.

Baca juga: Hatha Yoga Komoenitas Makara, Nantinya Bisa Aktivitas Sehat Sambil Nikmati Suasana Senja Ditepi Danau Kenanga UI

Lantas, mengapa kita masih peduli? Rekonstruksi wajah Beethoven bukan sekadar proyek AI iseng. Ia menjadi cermin: bahwa kita masih terobsesi memahami sosok jenius — bukan hanya melalui karyanya, tetapi lewat ekspresi wajahnya, DNA-nya, bahkan riwayat penyakitnya.

Di zaman ketika musisi sering dipromosikan lewat Instagram filter, wajah asli Beethoven hadir sebagai pengingat bahwa kreativitas kadang justru lahir dari kekacauan, rasa sakit, dan isolasi. Tak terbayangkan, bagaimana dia mengukur nada dalam ketuliannya.

Dan kita jadi sadar, di balik simfoni yang megah itu, ada manusia yang rapuh, rentan, dan keras kepala. Seorang lelaki yang menolak tunduk pada keterbatasannya, bahkan pada kebisuan total. Alih-alih menutup buku not, ia malah menyusunnya lebih tebal.

Baca juga: Catatan Cak AT: Saatnya Dam Haji di Negeri Sendiri

Barangkali, yang paling ironis adalah bahwa Beethoven — dengan semua reputasi ketusnya — menciptakan Ode to Joy, lagu yang sekarang menjadi simbol persatuan Eropa. Sungguh, bahkan manusia paling tertutup pun bisa menulis nada untuk dunia.

Jadi, jika wajah barunya membuat Anda bergidik atau tertawa getir, ingatlah: Beethoven tak perlu tersenyum di foto. Karya-karyanya sudah cukup untuk membuat dunia tersenyum — dan menangis — selama dua abad terakhir.

Karena dalam kebisuan dan kemurungan seorang jenius, dunia justru menemukan suara dan harapan. Yuk, dengarkan Für Elise sambil ngopi, tanpa sekali pun khawatir dimarahi Beethoven — meski mungkin itu karena tidak ada koneksi Wi-Fi dari kuburnya. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 1/6/2025

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |