REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional Eddy Soeparno menegaskan bahwa ketahanan energi merupakan syarat utama bagi Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional hingga 8 persen.
“Capaian pertumbuhan 5,04 persen patut kita syukuri. Namun jika kita ingin mencapai target pertumbuhan 8 persen, kita harus jujur melihat tantangan perekonomian kita, salah satunya adalah paradoks energi,” ujar Eddy.
Eddy menjelaskan, Indonesia sejatinya memiliki kekayaan sumber daya energi yang sangat besar, mulai dari energi surya, hidro, angin, panas bumi, hingga potensi penyimpanan karbon.
Namun di sisi lain, struktur ekonomi nasional masih sangat bergantung pada impor energi, khususnya BBM dan LPG, yang membuat ketahanan energi sekaligus ketahanan fiskal menjadi rentan.
“Selama kita masih mengimpor energi dalam jumlah besar, selama itu pula ketahanan ekonomi kita tidak akan sepenuhnya kuat. Ketahanan energi bukan sekadar isu teknis tetapi harus menjadi isu strategis nasional,” tegasnya.
“Potensi energi kita sangat besar, baik energi terbarukan, sumber daya fosil, hingga kapasitas penyimpanan karbon. Tetapi faktanya, perekonomian nasional masih bergantung pada impor BBM dan LPG. Inilah paradoks energi yang harus segera kita selesaikan untuk wujudkan ketahanan energi,” ujar Eddy.
Dalam konteks tersebut, Waketum PAN ini menilai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 menjadi instrumen kebijakan yang sangat krusial. RUPTL tidak hanya memetakan kebutuhan pasokan listrik nasional, tetapi juga menjadi peta jalan transformasi energi Indonesia dalam satu dekade ke depan.
Dalam upaya transisi menuju energi bersih, Doktor Ilmu Politik UI ini juga menyampaikan bahwa perubahan iklim telah menjadi ancaman nyata terhadap ekonomi nasional, kesejahteraan masyarakat, dan keberlanjutan pembangunan Indonesia.
Menurut Eddy, sepanjang 2025 Indonesia menyaksikan langsung eskalasi bencana iklim di berbagai wilayah, mulai dari Sumatera, Jawa, hingga Bali. Banjir, longsor, dan cuaca ekstrem tidak hanya menelan korban jiwa, tetapi juga menyebabkan kerusakan infrastruktur dan kerugian ekonomi dalam skala yang sangat besar.
“Krisis iklim bukan lagi risiko yang akan datang. Ia sudah hadir di tengah kita, dan dampaknya sangat nyata bagi masyarakat,” ujar Eddy.
Ia mengingatkan bahwa tanpa kebijakan mitigasi dan adaptasi yang kuat, krisis iklim berpotensi menekan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia lebih dari 1 persen pada 2030. Dampak lanjutan dari kondisi tersebut adalah hilangnya ratusan ribu lapangan kerja, meningkatnya beban fiskal negara, serta menurunnya daya tarik investasi.
Dalam situasi ini, Eddy menilai kebijakan energi dan iklim harus menjadi bagian integral dari strategi pembangunan nasional. RUPTL 2025–2034, penguatan bauran energi bersih, serta pembangunan infrastruktur pendukung energi rendah karbon dipandang sebagai instrumen penting untuk mengurangi risiko ekonomi akibat perubahan iklim.
“Mengakhiri paradoks energi adalah bagian dari upaya kita mewujudkan lingkungan yang lebih baik dan mencegah meluasnya dampak krisis iklim,” tutup Eddy.

2 hours ago
1
















































