REPUBLIKA.CO.ID, ALASKA -- Para geolog dan biolog di University of Colorado Boulder membangkitkan mikroba purba yang terjebak dalam lapisan es di Arktik selama 40 ribu tahun. Harvard Medical School mengatakan bakteria tidur dapat bertahan tanpa nutrisi, panas atau cahaya selama berabad-abad.
"Ini sama sekali bukan sampel mati, mereka masih sangat hidup yang mampu menampung kehidupan yang dapat memecah bahan organik dan melepas karbon dioksida," kata mantan mahasiswa pasca-sarjana ilmu geologi University of Colorado Boulder, Tristan Caro seperti dikutip dari the Independent, Jumat (3/10/2025).
Para ilmuwan dari berbagai penjuru Amerika Serikat (AS) menggali es abadi (permafrost) yang terdiri dari tanah, es dan bebatuan di Alaska untuk mengeluarkan mikroba. Beberapa melakukan penggalian hingga 350 kaki di bawah permukaan bumi.
Sampel-sampel itu diambil dari dinding fasilitas penelitian Korps Zeni Angkatan Darat AS di dekat Fairbanks yang dikenal sebagai "Terowongan Permafrost", yang pertama kali digali pada tahun 1960-an dan berisi tulang-tulang mamut dari Zaman Es. Para peneliti mencoba membangunkan mikroba tidur itu.
Mereka memaparkannya dengan air dan suhu sekitar 3,889 derajat Celsius sampai 12,23 derajat Celsius. Suhu yang cukup hangat di daerah itu. Setelah mengobservasi mikroba tersebut selama enam bulan para peneliti menemukan hasil yang mengejutkan.
Meskipun kelompok bakteri tersebut tumbuh dengan sangat lambat pada bulan-bulan pertama, beberapa di antaranya mulai memproduksi zat lengket tipis yang dikenal sebagai biofilm. Biofilm ini berfungsi sebagai pelindung bagi virus dan dapat membantu penyebarannya.
Para peneliti mengatakan temuan ini menunjukkan butuh beberapa bulan bagi mikroba untuk aktif setelah mengalami paparan panas selama beberapa waktu.
"Kami ingin mensimulasikan apa yang terjadi pada musim panas di Alaska, di bawah kondisi iklim di masa depan, di mana suhu ini mencapai area permafrost yang lebih dalam," kata Caro.
Penelitian ini dilakukan saat es di Arktik mencair dalam tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya karena perubahan iklim. Para peneliti Finlandia mencatat pemanasan yang terjadi di kawasan seluas 5,5 juta mil persegi itu empat kali lebih cepat dibandingkan kawasan mana pun di bumi sejak 1979.
Badan Antariksa Eropa memperkirakan pada 2100 mendatang dua pertiga es dekat permukaan permafrost di kawasan itu akan hilang. Para ilmuwan mengatakan pencairan permafrost melepaskan emisi gas rumah kaca karbon dioksida dan metana.
Badan Oseanografi dan Atmosfer AS (AS) mengatakan peneliti dari MIT memperkirakan permafrost di seluruh dunia menyimpan 1.500 miliar ton karbon, hampir dua kali lipat jumlah karbon yang saat ini berada di atmosfer. Namun emisi gas rumah kaca bukan satu-satu masalah yang dapat ditimbulkan mencairnya permafrost.
Selama bertahun-tahun para ilmuwan memperingatkan permafrost dihuni bakteri dan virus yang tidak diketahui. Mereka dapat menimbulkan konsekuensi yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
"“Kita benar-benar tidak tahu apa yang terkubur di sana, (permafrost) adalah kotak Pandora,” kata pakar mikrobiologi di Universitas Umeå Swedia, Birgitta Evengård kepada NPR pada tahun 2016.
Bakteri purba dapat menyebabkan infeksi, tetapi mereka juga dapat membantu mengembangkan antibiotik baru untuk penggunaan medis. Bahkan, salah satu jenis bakteri yang ditemukan di tanah Arktik (Kutub Utara) dikabarkan bisa membantu membersihkan tumpahan minyak.
Sebelumnya, para ilmuwan pernah berhasil menghidupkan kembali jenis-jenis “virus zombi” yang lebih tua, dan sejauh ini belum ada alasan besar untuk panik.
Peneliti di Medical University of South Carolina Douglas Johnson menjelaskan meski virus purba dapat diaktifkan kembali dan menginfeksi manusia, sebagian besar virus yang dihidupkan kembali sejauh ini hanya menginfeksi amoeba. Selain itu, banyak virus tersebut terlalu rapuh untuk bertahan dalam kondisi modern.
Saat ini, sulit untuk mengatakan seberapa khawatir seharusnya kita," kata Kepala Ilmuwan Program Lingkungan PBB (UNEP) Andrea Hinwood.
Namun, ia menambahkan, “ada alasan untuk khawatir.”
Caro (salah satu peneliti) mengatakan mikroba yang mereka gunakan kemungkinan besar tidak dapat menginfeksi manusia—namun timnya tetap menyimpan mikroba tersebut dalam ruang tertutup sebagai tindakan pencegahan.