Indef: Capaian Ekonomi 2025 Banyak Meleset dari Target APBN

2 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance (Indef) berpandangan capaian ekonomi Indonesia pada 2025 sebagian besar meleset dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Penyebabnya tidak semata-mata karena dampak perlambatan ekonomi global, tetapi juga fundamental ekonomi Indonesia yang dinilai belum cukup kuat.

Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti menjelaskan, data perkembangan indikator asumsi dasar ekonomi makro 2025 menunjukkan ekonomi tumbuh melambat. Tercatat pada kuartal III 2025 pertumbuhan ekonomi terealisasi sebesar 5,04 persen, lebih rendah dibandingkan target 5,2 persen. Sementara itu, inflasi bergerak di level 2,86 persen per Oktober 2025, lebih tinggi dibandingkan target APBN sebesar 2,5 persen.

Adapun nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berdasarkan data kurs tengah Bank Indonesia (BI) hingga Oktober 2025 tercatat melemah menjadi Rp 16.413 per dolar AS, melampaui target APBN sebesar Rp 16.000 per dolar AS. Sementara realisasi yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun hingga lelang Surat Utang Negara (SUN) terakhir pada 7 Oktober 2025 tercatat 6,77 persen (year to date/ytd), lebih rendah dari target APBN sebesar 7 persen.

Realisasi harga minyak mentah Indonesia hingga September 2025 tercatat sebesar 69,01 dolar AS per barel (ytd), lebih rendah dibandingkan asumsi APBN sebesar 82 dolar AS per barel. Selanjutnya, pada periode yang sama, lifting minyak dan lifting gas masing-masing terealisasi 580,3 ribu barel per hari (APBN: 605 ribu barel per hari) dan 974 ribu barel per hari (APBN: 1.005 ribu barel per hari).

“Rata-rata capaian pertumbuhan ekonomi sepanjang kuartal I—III 2025 adalah sebesar 5,01 persen. Artinya untuk mencapai target pertumbuhan 5,2 persen di 2025 membutuhkan upaya lebih kencang,” kata Esther dalam diskusi publik bertajuk Catatan Akhir Tahun Indef: Liburan di Tengah Tekanan Fiskal yang digelar secara daring, Senin (29/12/2025).

Esther menjelaskan, melesetnya realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini disebabkan oleh faktor global maupun domestik. Dari sisi global, terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi, terutama akibat perang dagang yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump.

Meski dipengaruhi faktor global, Esther lebih menyoroti penyebab domestik yang membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia kurang bergairah pada 2025. Menurut dia, ketidakpastian global memang menekan perekonomian banyak negara, termasuk Indonesia, namun ketahanan ekonomi domestik dinilai belum cukup resilien.

“Kalau kita lihat negara tetangga, ada Singapura, Malaysia, Thailand, mereka memang terdampak juga, tetapi karena imunitas atau fundamental ekonomi relatif kuat, jadi dampaknya enggak parah-parah banget. Kalau kita (Indonesia) relatif rentan. Kenapa fundamental ekonomi kita relatif rentan? Ya karena ketergantungan kita terhadap dunia luar itu tinggi,” ungkap Esther.

Dari sisi impor, Esther menilai impor Indonesia juga relatif tinggi. Kondisi ini membuat potensi perolehan devisa justru tergerus karena impor, termasuk impor bahan pangan.

“Itu yang membuat ketergantungan ekonomi kita terhadap luar sangat tinggi, sehingga jika terjadi ‘batuk-batuk’ (gonjang ganjing) di ekonomi global, maka kita pun juga akan berdampak ‘batuk-batuk’,” terangnya.

Di sisi lain, Esther mengatakan pemulihan ekonomi domestik juga melambat di tengah tingginya tantangan global. Hal tersebut berkaitan dengan belum kuatnya Indonesia bergerak menjadi negara yang lebih mandiri, terlihat dari upaya swasembada pangan dan swasembada energi yang masih terbatas.

“Investasi juga belum terlalu ekspansif. Kita punya natural resources, tetapi kenapa investor tidak terlalu tertarik untuk datang ke Indonesia? Mungkin karena pertama paket kebijakannya itu tidak customize, hanya tax holiday, tax incentive, dan tax reduction saja. Sementara investor butuh hal lain, misalnya infrastruktur harus relatif ada semua, gas, listrik, air bersih, sehingga mereka bisa membangun pabrik misalnya,” jelasnya.

Esther melanjutkan, selain itu pasar tenaga kerja juga dinilai masih rapuh karena sebagian besar tenaga kerja masih didominasi sektor informal. Penyebabnya beragam, mulai dari skill mismatch, tingkat pendidikan yang rendah, hingga ketidaksesuaian pasokan tenaga kerja dengan kebutuhan industri.

Dari sisi kebijakan fiskal, Esther menuturkan lambatnya penyerapan anggaran turut menjadi faktor melambatnya pertumbuhan ekonomi, terutama pada program-program prioritas dengan alokasi anggaran besar.

“Kalau kita bicara fiskal, memang terjadi perlambatan dalam government spending di tahun 2025. Ke depan efek perlambatan ini menurut saya akan tetap berlanjut,” ungkapnya.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |