Menggelorakan Revolusi Kemerdekaan

3 hours ago 2

Oleh : Fikrul Hanif Sufyan; periset dan pengajar sejarah, pernah menjadi dosen tamu dalam visiting scholar di Faculty of Arts University of Melbourne Australia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satu abad Muhammadiyah Sumatera Barat. Terhitung sejak didirikannya cabang Maninjau pada 14 November 1925, persyarikatan ini pun berkecambah di Padangsche Bovenlanden, atau pedalaman Minangkabau. Cabang Padang Panjang tiba-tiba menjadi lokus utama pada 26 Juni 1926, sekaligus magnet utama dari pesatnya Muhammadiyah di pesisir Pantai Barat Sumatra.

Dulunya bekas Hotel Merapi, tiba-tiba berubah menjadi Kauman Padang Panjang lengkap dengan amal usahanya. Hadirnya tidak hanya berkutat pada persoalan amal usaha rumah yatim maupun memajukan sekolah rintisannya, juga komitemennya untuk revolusi kemerdekaan Indonesia.

Seruan Jihad dari Kauman

Pada 18 Agustus 1945 selebaran itu terbaca oleh beberapa orang, dan segera tersebar melalui lisan. Selain selebaran, berita kawat diterima Adinegoro yang menjabat Sekretaris Chuo Sangi-in. Namun ia masih ragu-ragu. Sekelompok pemuda revolusioner kemudian meminta berita kawat tersebut, dan menyerahkannya kepada Moh. Safei  pada 19 Agustus 1945.

Sorenya, Moh Syafei mengadakan rapat di rumah dr Rasjidin, Padang Panjang. Dalam pertemuan itu disepakati, untuk memperbanyak selebaran dan berita kawat  itu dan disebarkan secara diam-diam ke berbagai kantor pemerintah, serta masyarakat (Haluan, 10 Agustus 1976).

Sehari sebelum berita itu sampai ke Moh Syafei, Dt Rajo Sikumbang telah menerima berita Proklamasi yang disiarkan Kantor Berita Domei Jakarta. Ia menyampaikan keesokan harinya pada Ibrahim Gandi dan Muin Dt Rajo Endah. Kemudian mereka mengadakan pertemuan dengan tokoh masyarakat lainnya dan para pemuda untuk mengibarkan Merah Putih di tempat-tempat umum dan rumah penduduk.

Peristiwa kasak-kusuk berita Proklamasi, tidak pernah diketahui oleh peserta Algemene Kennis Muhammadiyah. Sampai pelaksanaan Kuliah Subuh pada 19 Agustus 1945 diantarkan oleh Buya Sutan Mansur. Setelah membuka kajian selama tiga menit, menantu Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) itu memberitakan ia telah menerima berita kemerdekaan Indonesia, “…bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia telah dikumandangkan oleh Dwitunggal Indonesia Soekarno-Hatta,” (Sufyan, 2002). Diduga, A.R Sutan Mansur telah menerima berita proklamasi tersebut dari Adinegoro yang merupakan Sekretaris di Chuo Sangi-in.

Sontak saja, seluruh peserta meluapkan kegembiraannya. Para pemuda HW dan peserta kader seakan tidak percaya, bahwa Indonesia telah bebas dari cengkeraman penjajahan. Sutan Mansur yang masih diliputi kegembiraan itu, langsung berdiri. Dengan suara lantang ia menyampaikan, “Pulang!  Jam ini kursus kader ini ditutup. Saudara-saudara semua cepat pulang. Asah ladiang (parang), kampak dan tombak. Hari yang kita nanti-nanti telah tiba dan kita tidak boleh berlalai-lalai.”

Sesaat kemudian, kembali Ketua PB Muhammadiyah (1953-1956) itu menyerukan seruan jihadnya. Dengan nada tinggi ia berkata, “Bentuk barisan untuk perang, perang dan perang. Proklamasi menghendaki perjuangan secara gigih. Sebentar lagi Belanda tentu akan datang membonceng dengan tentara Sekutu Baratnya. Belanda akan merebut kembali tanah air, kecintaan bangsa Indonesia ini. Belanda telah lama mempunyai pendirian, kalau Indonesia merdeka, lepas dari tangan Belanda itu akan berarti karamnya negeri Belanda!”.

Ipar Hamka itu menyadari, bahwa proklamasi bisa berubah menjadi kemenangan sesaat, bila tidak ditindaklanjuti dengan langkah konkrit, untuk mempertahankannya. “Sekarang juga kursus ini, saya tutup! Dan kita semua kembali pulang ke negeri masing-masing dalam rangka mempersiapkan diri untuk perang melawan Belanda dengan senjata apa yang ada.” (Munafy, 1984). Setelah mengakhiri seruan jihadnya, seluruh peserta algemene kennis pun meneriakkan, merdeka!.

Dari Kauman, Barisan Hizbullah Dibentuk

Pasca resolusi jihad Sutan Mansur, pada 19 Agustus 1945 Malik Ahmad, Oedin, Zainoel Abidin Sju’aib, Saalah Jusuf Sutan Mangkuto, dan lainnya segera bertemu dengan tokoh masyarakat Padang Panjang. Dalam pertemuan yang dihadiri para pemuda revolusioner, disepakati untuk mengibarkan dwi warna di seluruh pelosok Padang Panjang pada 20 Agustus 1945. Sang Merah Putih pun terbentang di sepanjang tempat-tempat umum dan rumah-rumah penduduk.

Pembentukan barisan perjuangan, Hizbullah Sumatra Barat terjadi pada 1 Oktober 1945. Hizbullah adalah organ perjuangan pertama yang terbentuk pasca proklamasi kemerdekaan. Selanjutnya pimpinan Muhammadiyah Perwakilan Sumatera Sutan Mansur, Hamka–yang telah kembali dari Medan, Saalah Jusuf Sutan Mangkuto, Oedin, Malik Ahmad, dan lainnya–mengumpulkan para pemuda yang tergabung dalam Hizbul Wathan (HW).

Di depan barisan HW yang dikomandoi Samsoeddin Ahmad – mendengar sambutan dari Oedin mengenai tujuan pembentukan barisan–yang menjadi organ utamanya Masyumi (Kementerian Penerangan, 1953: 552).  Sejak dicanangkannya Hizbullah sebagai bagian utama organ Masyumi, segera mendapat sambutan hangat di Sumatera Barat.

Di bawah koordinasi Samsuddin Ahmad, barisan Hizbullah umumnya berasal dari murid-murid dan alumni Kauman Padang Panjang, diberi pelatihan militer selama dua bulan. Selesai mengikuti latihan, mereka disebarkan untuk membentuk barisan Hizbullah di daerahnya masing-masing. Sejak dicanangkannya barisan Hizbullah sebagai bagian utama organ perjuangan fisik Masyumi, segera mendapat sambutan hangat masyarakat di Sumatera Barat. Dua bulan lamanya murid-murid dari Kauman mengikuti latihan semi militer dengan penuh kesabaran.

Namun, di tengah perjuangan murid-murid Kauman, mereka sempat melakukan mogok massal. Pasalnya, seorang opsir yang melatih, mencela sekolah-sekolah yang ada di Kauman. “Seorang opsir yang memberi pengajaran mencela sekolah yang dicintainya.” (Haskim dan Naiem, 1946: 53).

Perselisihan itu, segera mendapat tanggapan keras dari eks Direktur Kulliyatul Muballigat, Malik Ahmad. Opsir itu dinonaktifkan. Dan opsir yang baru diminta melatih murid-murid Kauman –yang hampir patah arang, karena sikap opsir sebelumnya. Sepuluh hari kemudian, atau tepatnya pada 10 Oktober 1945 masing-masing anggota kembali ke daerahnya masing-masing, untuk mendirikan Hizbullah (Kementerian Penerangan, 1953: 553; Kahin, 2005: 187).

Front Pertahanan Nasional dan PDRI

Keterlibatan Muhammadiyah dalam revolusi kemerdekaan kembali dibuktikan dua tahun kemudian. Eskalasi konflik dan gempuran dalam Agresi Militer I, memicu Wakil Presiden Bung Hatta, untuk segera mengkonsolidasi kekuatan di Bukittinggi. Bung Hatta bersama rombongan bertolak dari Tebing Tinggi tanggal 27 Juli 1947 menuju Bukittinggi.

Pada tanggal 29 Juli 1947 rombongan sudah di Bukittinggi. Malam itu juga, Bung Hatta mengadakan briefing dan meminta seluruh pimpinan parpol menghadiri rapat.  Sebelum pamit rehat, Hatta menganjurkan perlunya kesatuan perjuangan yang bersifat kerakyatan, untuk membentuk organisasi itu. “ .sehingga dendam kita karena kematian Azizchan, dapat ditebus,” kata Bung Hatta.

Adalah Haji Datuk Batuah – seorang Kuminih tua, eks interniran Digoel dan guru mengajinya Hamka semasa kecil yang memimpin rapat itu. Pencarian nama untuk badan pemersatu kejuangan itu terjadi pada bulan Ramadhan sampai tengah malam. Melalui proses yang cukup panjang, akhirnya putus rundingan di kalangan pimpinan parpol, untuk memberi nama Front Pertahanan Nasional (FPN).

Rapat yang berjalan maraton itu, menghasilkan putusan mengangkat lima formatur untuk menyusun front pertahanan itu. Terpilihlah nama-nama, seperti Hamka, Chatib Sulaiman, Oedin, Karim Halim dan Rasuna Said. Dari enam nama yang diusulkan, dua orang berasal dari internal persyarikatan, yakni Hamka dan Oedin. Dan satu orang yang pernah mengajar di HIS Muhammadiyah di masa Kolonial Belanda, yakni Chatib Sulaiman.

Pekerjaan yang belum tuntas adalah menentukan siapa dari kelima nama itu yang berhak menjadi ketua FPN. Dari seluruh peserta sidang baik yang berasal dari Partai Sosialis, PNI, PKI, PSI, Pesindo, maupun dari laskar Hizbullah dan Sabilillah meneriakkan satu nama, yakni Hamka!

Forum hanya menunggu jawaban dari perwakilan Masyumi yang belum menyatakan sikapnya. Semua mata pun tertuju ke Iljas Ja’coeb pimpinan Masyumi. Iljas menatap HAMKA. Kemudian berkata, “Terimalah!” Seisi ruangan lantas bersorak sorai, dan bertepuk tangan tanda yang mengetuai FPN telah terpilih. Setelah Hamka terpilih, berturut-turut terpilih Chatib Sulaiman selaku Sekretaris dan dibantu oleh dua orang, yakni Rangkayo Rasuna Said dan Oedin.

Dana untuk Revolusi Kemerdekaan dan PDRI

Selama revolusi kemerdekaan, ada beberapa catatan penting yang ditorehkan oleh tokoh persyarikatan Muhammadiyah di Sumatera Barat. Catatan kecil itu berasal dari Samik Ibrahim sejak awal Februari 1946 telah meminjamkan dana besar untuk kebutuhan logistik pasukan Divisi IX Banteng. Padahal, dalam kondisi keuangan perusahaannya N.V KOPAN belum pulih, Samik berani dan mau menanggung resiko meminjamkan uang pada militer Angkatan Darat. 

Pinjaman yang diberikan oleh Samik Ibrahim dimulai sejak 2 Februari 1946 dan terakhir pada tanggal 22 Oktober 1947. Adapun bentuk utang yang diberikan Samik pada Divisi IX Banteng, berupa motor, natura, upah, dan uang kontan.  Pada Desember 1948, Samik datang ke Bukittinggi untuk menagih pinjaman kebutuhan logistik dan persenjataan senilai Rp 4.075.080.50. Namun, uang yang diberikan itu hanya dikembalikan sebesar Rp 5 ribu rupiah saja oleh pihak tentara.

Setahun kemudian, lembaran sejarah kembali mengukir aktivitas pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat, diantaranya Hamka selaku penggelora revolusi dari kampung ke kampung, Saalah Jusuf Sutan Mangkuto sebagai bupati militer Kabupaten Limapuluh Kota pasca tragedi Situjuh Batua, serta Malik Ahmad selaku Wakil Kepala Jawatan Sosial Sumatera Tengah. Aktivitas ketiganya berada dalam peristiwa Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Ketika pusat PDRI  pindah ke Koto Tinggi, berdasarkan Instruksi No 1 Gubernur Militer Sumatera Barat tanggal 13 Januari 1949, Malik Ahmad diserahi tugas memimpin bagian perburuhan dan sosial. Selain itu, Malik Ahmad mengurus perbekalan, pengungsi, dan mengurus pejabat PDRI di Koto Tinggi (Kementerian Penerangan,1954: 221). 

Tugas yang diserahkan Gubernur Militer Sutan Moh. Rasjid memang berdasarkan job yang pernah digelutinya, semasa menjabat Kepala Jawatan Sosial Sumatera Tengah. Sejak dikeluarkannya Instruksi No 1 tahun 1948, Malik Ahmad sibuk mengurus masalah perbekalan, rombongan PDRI yang tergabung di Koto Tinggi. Malik Ahmad turut mengurus keperluan pejabat PDRI, pasukan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), Mobbrig, dan Pasukan Mobil Teras (PMT) yang masuk ke Koto Tinggi.

Untuk menindaklanjuti instruksi No.1 tahun 1948, Malik Ahmad pun mengeluarkan Maklumat Sementara Koordinator Perburuhan/Sosial Sumatera tanggal 20 Desember 1948. Maklumat sementara tersebut mengatur persoalan pengungsian dan penanganannya. “Semua pegawai dan pengungsi adalah tanggung jawab Wali Negeri/MPRN, terutama mengenai pemondokan dan bantuan makanan dalam waktu tujuh hari,” demikian isi dari Maklumat sementara yang dikeluarkan oleh Malik Ahmad selaku koordinator Perburuhan/Sosial Sumatra. 

Untuk mengatasi persoalan pengungsi, mencukupi perbekalan, baik untuk militer maupun keperluan ransum di dapur umum–yang merupakan bagian utama tugas dari Malik Ahmad diperkuat melalui instruksi yang dikeluarkan oleh Sutan Moh Rasjid tentang penetapan iuran perang, atau ditulis oleh Audrey Kahin (2008) sebagai usaha menghidupkan kembali pajak perang.

Seluruh iuran perang yang dikumpulkan oleh petugas, diserahkan pada Camat Militer, Wedana Militer, Bupati Militer, hingga ke pengurus DPD Sumatera Barat. Untuk mencairkan uang jasa dari petugas pemungut ini, hanya boleh diambil sebesar 10 persen dari hasil iuran perang.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |