
Orang-orang Kristen di Maluku yang miskin mendapat perlakuan istimewa dari Belanda, sehingga kesenjangan Muslim-Kristiani pun begitu mencolok. Ketika Jepang berkuasa dan ingin memilih pemimpin di Maluku, Jepang meminta Muslim Maluku untuk menunjuknya.
Siapa yang dipilih? Kalangan Muslim memilih Urbanus Puppela, orang Maluku beragama Kristen. Setelah Indonesia merdeka, Pupella dikenal menolak kehadiran Persatuan Timur Besar (PTB) dan Republik Maluku Selatan (RMS), tetapi tak apa ikut memperjuangkan Negara Indonesia Timur.
Kepada wartawan Belanda yang menemunya pada 1980, Pupella memperlihatkan brosur “Azab Sengrasa Kepoelauan Maloekoe” yang dibuat oleh J Latuharhary. “Sarekat Ambon telah menegaskan bahwa kepulauan Maluku harus dianggap sebagai kepulauan yang tak terpisahkan dari Indonesia,” ujar Pupella kepada wartawan Belanda itu dalam laporannya di koran Trouw edisi 19 April 1980.
Scroll untuk membaca
Scroll untuk membaca
Brosur itu pernah dibacakan oleh Ketua Sarekat Ambon J Latuharhary pada Kongres Indonesia Raya, Januari 1932. Namun, setelah Indonesia Merdeka, orang-orang Maluku mendirikan Persatuan Timur Besar (PTB), yang menolak bergabung dengan Republik Indonesia.
Kemudian muncul pula Republik Maluku Selatan. Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS), meski PTB dan RMS pro-Belanda, PTB dan RMS menolak bergabung ke dalam Negara Indonesia Timur dan RIS.
Setelah Jepang kalah dalam Perang Pasifik, Belanda kembali menguasai Maluku dan Pupella ditangkap Belanda. Namun, atas desakan para bupati, pejabat adminsitrasi Belanda membebaskannya.
Pada 17 Agustus 1946 Pupella mendirikan Partai Indonesia Merdeka dan bersikap moderat terhaap penduduk pro-Belanda. Ia juga cukup kooperatif dengan Gubernur Jenderal Van Mook.
Ia mendukung Negara Indonesia Timur, tetapi juga tidak mengingkari Republik Indonesia. Bagi Pupella, sesuai cita-cita Sarekat Ambon yang ia baca dari brosur yang ditulis Latuharhary, Maluku harus tetap menjadi bagian dari Indonesia, entah itu menjadi bagian dari negara kesatuan Indonesia maupun negara federal Indonesia.
“Sarekat Ambon selalu merasa berkewajiban untuk memelihara hubungan dengan sesama bangsa Indonesia, Indonesia yang sedang berjuang sekuat tenaga untuk meningkatkan standarnya. Pada masa itu, tujuan Sarekat Ambon adalah agar Indonesia memiliki pemerintahan sendiri,” lanjut Pupella.
Betapa kuatnya pandangan Latuharhary di dalam brosur “Azab Sengsara Kepoelauan Maloekoe” itu. Pada masa itu, Sarekat Ambon bergabung dengan Pemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
Pada Kongres Indonesia Raya Januari 1932 yang juga dihadiri oleh Bung Karno yang baru dilepaskan dari penjara Sukamiskin, Latuharhary ditunjuk sebagai sekretaris-bendahara PPPKI, mendampingi dokter Soetomo sebagai ketua. Oleh Soetomo, ia diberi waktu untuk menyampaikan pidato.
Hal yang ingin disampaikan oleh Latuharhary, menurut Soetomo adalah keluhan-keluhan yang memiliki kesamaan dengan keluhan bangsa Indonesia pada umumya. Karena itu, Soetomo memperkenalkan Latuharhary.
Ia adalah orang Maluku pertama yang meraih gelar sarjana hukum (Mr) di Belanda. Ia mendapat beasiswa untuk menempuh pendidikannya di Belanda.
“Mr Latuharhary memulai dengan menekankan makna yang menurutnya seharusnya melekat pada kata-kata: Maluku masa lalu, Jawa masa kini, dan Sumatra masa depan,” tulis De Indische Courant edisi 4 Januari 1932.