Petugas melakukan uji emisi kendaraan roda empat di lapangan parkir GOR Pajajaran, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis (15/8/2024).
REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU — Menteri Lingkungan Hidup dan Kepala Badan Pengendalian Lingkungan (KLH/BPLH), Hanif Faisol Nurofiq, menegaskan pentingnya transisi ke bahan bakar minyak (BBM) rendah sulfur untuk memperbaiki kualitas udara. Penegasan itu disampaikan saat ia meninjau kesiapan produksi dan distribusi BBM setara Euro IV di Kilang Pertamina RU VI Balongan, Indramayu, Jawa Barat.
“BBM rendah sulfur bukan hanya tuntutan teknis, tapi kebutuhan publik. Kesehatan masyarakat lebih penting dari efisiensi jangka pendek,” kata Hanif, Sabtu (14/6/2025).
Kementerian Lingkungan Hidup mencatat, sekitar 35 hingga 57 persen polusi udara di wilayah Jabodetabek bersumber dari emisi kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar dengan kadar sulfur tinggi. Dalam kunjungan tersebut, Hanif meminta Pertamina dan seluruh pemangku kepentingan untuk segera menyelesaikan penyediaan BBM ramah lingkungan bagi masyarakat.
Sebagai bentuk dorongan konkret, Hanif menyatakan telah mengirim surat resmi kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Keuangan, serta manajemen PT Pertamina. Surat itu berisi permintaan percepatan penyediaan BBM rendah sulfur secara nasional, dengan target minimal 24 persen untuk bensin dan 10 persen untuk solar (termasuk biosolar) hingga akhir 2025.
Hanif juga mengingatkan soal sanksi hukum terhadap pihak yang lalai dalam menjaga mutu lingkungan. Ia merujuk Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengatur ancaman pidana satu tahun dan denda maksimal satu miliar rupiah bagi pelaku pencemaran lingkungan yang melebihi baku mutu.
“Makna setiap orang dalam peraturan ini adalah seluruh pihak tanpa terkecuali. Jadi Pertamina dan seluruh pihak harus serius menyelesaikan masalah ini,” tegas Hanif.
Penggunaan BBM rendah sulfur juga menjadi bagian dari strategi nasional untuk memenuhi komitmen pengurangan emisi. Berdasarkan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia menargetkan penurunan emisi karbon sebesar 32 persen dari skenario business-as-usual atau setara 912 juta ton CO2 pada 2030.