Jakarta, CNN Indonesia --
Rezim Taliban Afghanistan memaksa seorang anak berusia 13 tahun menembak mati seorang pria yang telah membunuh belasan anggota keluarganya. Eksekusi mati itu dilakukan di depan publik di hadapan ribuan orang.
Sekitar 80.000 orang berkumpul di sebuah stadion olahraga di provinsi Khost, Afghanistan tenggara, untuk menyaksikan peristiwa mengerikan tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pria yang dieksekusi bernama Mangal dan dua orang lainnya. Ketiganya dinyatakan bersalah atas pembunuhan 13 anggota keluarga remaja tersebut, termasuk beberapa anak dan perempuan.
Pelaku dijatuhi hukuman qisas, hukuman pembalasan dalam hukum syariah yang sejalan dengan prinsip Alkitabiah "mata ganti mata".
Mahkamah Agung Afghanistan menyatakan keluarga korban diberi kesempatan untuk memaafkan dan berdamai, langkah yang dapat menyelamatkan nyawa sang terpidana. Namun, pihak berwenang mengatakan mereka bersikeras agar hukuman mati tetap dilaksanakan.
"Hari ini seorang pembunuh dijatuhi hukuman pembalasan (qisas) di stadion olahraga di provinsi Khost," demikian pernyataan Mahkamah Agung Afghanistan di platform X.
"Keluarga korban ditawari opsi pemaafan atau pembalasan. Namun setelah mereka menolak dan tetap menuntut qisas, perintah untuk melaksanakan putusan Ilahi itu pun diterbitkan. Pada penutupan acara, dilakukan doa bersama untuk memperkuat keamanan nasional, meningkatkan akses masyarakat terhadap hak-hak sah mereka, serta pelaksanaan syariah Islam secara tepat di seluruh negeri."
Dikutip The Independent, Taliban dilaporkan melarang pengunjung membawa ponsel berkamera ke dalam stadion tempat eksekusi digelar.
Namun, sebuah video yang direkam dari luar stadion memperlihatkan kerumunan besar yang terdiri dari puluhan ribu laki-laki berkumpul untuk menyaksikan eksekusi tersebut.
Hukuman mati juga telah dijatuhkan kepada dua pelaku lainnya yang terlibat dalam pembunuhan tersebut, namun eksekusi belum dapat dilakukan karena beberapa ahli waris korban tidak hadir.
Terpidana ditembak mati setelah tiga tingkat pengadilan yakni pengadilan rendah, pengadilan banding, dan Mahkamah Agung menguatkan putusan hukuman mati, dan pemimpin tertinggi Afghanistan, Hibatullah Akhundzada, memberikan persetujuan akhir.
Eksekusi ini menjadi yang ke-11 sejak Taliban kembali menerapkan interpretasi ketat terhadap hukum syariah, yang memungkinkan hukuman mati, amputasi, atau cambuk untuk kejahatan seperti pembunuhan, perzinaan, dan pencurian.
Sejak mengambil alih kekuasaan pada 2021, Taliban juga telah melarang perempuan dan anak perempuan Afghanistan mengakses pendidikan tingkat menengah dan perguruan tinggi serta sebagian besar jenis pekerjaan.
Pelapor khusus PBB untuk Afghanistan, Richard Bennett, mengecam aksi eksekusi mati di depan publik, terlebih dilakukan oleh anak di bawah umur.
"Eksekusi publik adalah tindakan tidak manusiawi, kejam, dan merupakan bentuk hukuman yang melanggar hukum internasional," tulisnya.
Pada masa kekuasaan Taliban sebelumnya pada akhir 1990-an, eksekusi publik, pencambukan, dan rajam memang sering dilakukan.
(rds)

14 hours ago
5
















































