Palestina dan Masa Depan Tata Dunia Baru

5 hours ago 3

Oleh : Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Isu Palestina kembali memasuki fase penting setelah sebelas negara bersepakat, -termasuk Inggris yang berandil besar babat alas berdirinya entitas illegal Israel di tanah Palestina sejak Deklarasi Balfour 1917-, mengumumkan pengakuan resmi terhadap Negara Palestina menjelang Sidang Umum PBB ke-80. Momentum ini disambut luas publik dunia, namun juga menyisakan pertanyaan mendasar: apakah pengakuan ini benar-benar akan mempercepat lahirnya Palestina sebagai negara merdeka dan berdaulat, ataukah sekadar menambah daftar panjang simbolik diplomasi yang terhenti di meja PBB?

Untuk menjawabnya, kita perlu menempatkan Palestina dalam konteks yang lebih luas: struktur politik global yang masih dikendalikan oleh lima negara pemegang hak veto di Dewan Keamanan PBB, dinamika politik internal Israel yang semakin rapuh, serta munculnya poros-poros baru dunia multipolar yang menantang dominasi Amerika Serikat.

Realitas Diplomasi PBB: Antara Dukungan Mayoritas dan Hak Veto

Sejak 1988 hingga 2025, lebih dari 147 negara telah mengakui Palestina sebagai negara. Kini jumlah itu terus bertambah, termasuk dari negara-negara Amerika Latin, Afrika, hingga Asia. Namun, fakta geopolitik menunjukkan bahwa pengakuan luas tersebut belum otomatis menjadikan Palestina anggota penuh PBB. Hambatan utamanya jelas: hak veto Amerika Serikat.

Sebagai sekutu utama Israel, AS berkali-kali menggunakan vetonya untuk menggagalkan resolusi yang menguntungkan Palestina, mulai dari soal keanggotaan penuh hingga penghentian agresi militer di Gaza. Inilah ironi besar PBB: lembaga internasional yang seharusnya menjadi penjamin keadilan justru kerap lumpuh akibat struktur otoriter yang diwariskan dari pasca-Perang Dunia II.

Dengan demikian, reformasi PBB—terutama penghapusan hak veto atau setidaknya pembatasannya—menjadi prasyarat mutlak jika Palestina ingin memperoleh kedaulatan penuh melalui jalur diplomasi internasional. Tanpa itu, pengakuan sepuluh, dua puluh, bahkan seratus negara pun masih bisa mandek pada status quo.

Palestina dalam Pusaran Transformasi Global

Namun, masa depan Palestina tidak semata ditentukan oleh sidang-sidang di UN Headquarter, New York. Ada tiga faktor besar yang dapat mempercepat realisasi kemerdekaan Palestina dalam satu dekade ke depan:

1. Keruntuhan Internal Israel

Israel menghadapi krisis multidimensi: politik, demografi, hingga legitimasi moral. Protes dalam negeri terhadap pemerintahan Netanyahu, penolakan wajib militer oleh sebagian masyarakat Yahudi, serta eksodus kaum muda ke luar negeri menunjukkan adanya erosi internal. Layaknya Uni Soviet pada 1991, negara bisa runtuh bukan karena serangan luar, melainkan karena rapuh dari dalam.

2. Melemahnya Hegemoni Amerika Serikat

AS kini menghadapi tantangan global yang serius: konflik potensial dengan China di Laut Cina Selatan dan Taiwan, perang proksi dengan Rusia di Ukraina, serta krisis domestik berupa polarisasi politik dan ekonomi. Semua itu mengurangi kapasitas AS untuk terus menopang Israel secara absolut.

3. Munculnya Poros Dunia Multipolar

BRICS+, Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO), dan blok-blok baru di Global South mulai menantang tatanan internasional lama. Dalam forum-forum ini, isu Palestina sering diangkat sebagai simbol perlawanan terhadap ketidakadilan global. Jika kekuatan multipolar semakin solid, maka tekanan terhadap Israel dan sekutunya akan semakin besar.

Tiga Skenario Palestina 2025–2035

1. Skenario Optimis (Palestina Merdeka 2031–2035) Reformasi PBB berhasil mengurangi dominasi hak veto. Israel melemah akibat krisis internal dan kehilangan legitimasi global. AS kehilangan peran hegemoniknya, sementara blok multipolar mampu memaksakan solusi politik. Palestina diakui sebagai anggota penuh PBB, Yerusalem Timur ditetapkan sebagai ibu kota Palestina, dan terbentuk konsensus internasional untuk mendukung negara Palestina yang berdaulat.

2. Skenario Moderat (Status Quo Diperpanjang) Pengakuan internasional terus bertambah, tapi hanya de jure, bukan de facto. Israel tetap kuat secara militer meskipun terisolasi diplomatik. Palestina memperoleh status “quasi-state” dengan keleluasaan terbatas di Tepi Barat dan Gaza. Konflik terus berlangsung dalam bentuk siklus kekerasan dan gencatan senjata sementara.

3. Skenario Pesimis (Palestina Terpinggirkan) Israel berhasil melanjutkan proyek kolonisasi dengan dukungan penuh AS. Palestina semakin tercerai-berai antara Gaza, Tepi Barat, dan diaspora. Normalisasi Israel dengan sebagian negara Arab semakin mengikis isu Palestina di forum internasional. Umat Islam terjebak dalam fragmentasi, sementara generasi baru Palestina tercerabut dari tanahnya.

Skenario terakhir adalah yang terburuk. Namun, insya Allah kita meyakini dengan didukung bukti-bukti empirik bahwa ‘Taufan al-Aqsa’ 2023 tidak mengizinkan semua pihak untuk kembali ke titik nol lagi. Pengorbanan besar rakyat Gaza dalam rentang 2 tahun ini dan bangkitnya kesadaran solidaritas global untuk Gaza sudah cukup menggerakkan roda Sejarah menggelinding bak bola salju yang akan terus membesar dan merobohkan siapa saja yang menghalangi lajunya.

Kolonialisme dan Runtuhnya Imperium

Jika kita melihat sejarah, tidak ada kekuasaan kolonial yang abadi. Belanda berabad-abad menjajah Indonesia, namun akhirnya tumbang karena kombinasi tekanan internasional dan perlawanan dari dalam. Begitu juga apartheid di Afrika Selatan, yang runtuh setelah tekanan global bertemu dengan resistensi domestik.

Israel, dengan segala klaim historis dan proyek arkeologisnya—seperti kasus Prasasti Siloam dan proyek Jalan Ziarah di Silwan—pada akhirnya tidak bisa menjadikan artefak sejarah sebagai legitimasi penjajahan. Sejarah Yerusalem jauh lebih panjang dari klaim etnis tertentu: ia milik peradaban bersama umat manusia, dan secara hukum internasional jelas merupakan wilayah Palestina.

Perjalanan Palestina menuju kemerdekaan memang panjang dan berliku. Namun, sejarah menunjukkan bahwa perubahan besar sering kali datang tiba-tiba ketika faktor internal, eksternal, dan moral bertemu pada satu momentum.

Pengakuan sebelas negara menjelang Sidang Umum PBB ke-80 harus dilihat bukan sebagai akhir, melainkan sebagai bagian dari proses panjang menuju transformasi global. Kuncinya ada pada tiga hal: reformasi PBB, melemahnya hegemoni AS, dan keruntuhan internal Israel.

Tanpa pedang tajam berupa kekuatan politik dan ekonomi yang nyata, retorika diplomasi hanya akan menjadi arsip sejarah. Tetapi jika umat Islam mampu memanfaatkan momentum multipolar ini, Palestina bukan hanya akan merdeka, melainkan juga menjadi simbol lahirnya tatanan dunia baru yang lebih adil.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |