REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penelitian yang dilakukan tiga lembaga mengungkap tantangan tata kelola pertambangan nikel di Sulawesi Tenggara dan menilai perlunya pemulihan fungsi pengawasan terpadu antara pemerintah provinsi, kabupaten, dan masyarakat. Riset tersebut menekankan bahwa peningkatan akuntabilitas dan transparansi menjadi kunci untuk mereduksi risiko lingkungan dan sosial di wilayah tambang.
Penelitian ini dilakukan Universitas Halu Oleo (UHO) bekerja sama dengan SETARA Institute dan Sustainable & Inclusive Governance Initiative (SIGI Initiative). Kajian lapangan berfokus pada dua wilayah tambang utama, Kabupaten Konawe dan Kabupaten Konawe Utara, dengan menilai praktik operasional berdasarkan lima variabel Responsible Mining Assessment.
Pendekatan ini merujuk Responsible Mining Index 2022, UN Guiding Principles on Business and Human Rights, IRMA, serta kerangka nasional termasuk Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan HAM.
Indonesia tercatat menguasai proyeksi 62 persen pasokan nikel global, sementara Sulawesi Tenggara menjadi salah satu pusat produksi terbesar dengan sumber daya nikel 61,3 juta ton dan cadangan 20,45 juta ton menurut Kemenkomarves 2024.
Ketua Tim Peneliti Yani Taufik menyebut potensi tersebut beriringan dengan risiko operasional yang besar. “Penelitian ini menegaskan bahwa besarnya potensi ekonomi tersebut disertai risiko kerugian yang sangat besar, khususnya pada aspek lingkungan, keselamatan pekerja, dan rendahnya akuntabilitas bisnis. Riset menemukan bahwa terdapat 176 IUP aktif di Sulawesi Tenggara, sementara proses perizinan, pengawasan, dan keterlibatan masyarakat masih menghadapi tantangan substansial,” ujarnya, Kamis (11/12/2025).
Penelitian menggunakan metode campuran melalui studi literatur, asesmen lapangan, forum multipihak, serta wawancara dengan masyarakat dan pemerintah daerah. Berdasarkan temuan tersebut, peneliti menyampaikan sejumlah rekomendasi.
Bagi pemerintah pusat, riset mendorong penguatan koherensi kebijakan nasional melalui revisi ketentuan dalam UU Minerba yang berpotensi disalahgunakan, sinkronisasi regulasi antarkementerian, peningkatan transparansi industri ekstraktif melalui pengungkapan informasi minimum, serta penerapan uji tuntas HAM sesuai mandat Perpres 60/2023.
“Pemerintah pusat juga direkomendasikan membentuk task force pengawasan dan peninjauan aspek lingkungan dan sosial di wilayah IUP Morosi, Mandiodo, dan smelter Molawe,” ujar Yani.
Untuk pemerintah daerah, rekomendasi mencakup pemulihan pengawasan terpadu antara provinsi, kabupaten, dan masyarakat; peninjauan ulang RTRW; akselerasi regulasi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; serta evaluasi izin IUP berbasis prinsip responsible mining.
Riset juga mendorong pembentukan kantor pengaduan lokal serta petugas penghubung desa guna memperkuat mekanisme keluhan publik. “Pemerintah daerah juga diharapkan secara aktif menyusun baseline kesehatan dan lingkungan secara berkala serta menindaklanjuti laporan kecelakaan kerja dan ketenagakerjaan,” kata Yani.
Rekomendasi bagi organisasi masyarakat sipil mencakup perluasan pemantauan independen, advokasi, dokumentasi kasus, serta pengembangan pemberdayaan ekonomi komunitas. Sementara bagi perguruan tinggi, peneliti mendorong riset lanjutan mengenai dampak sosial-lingkungan, pedoman ilmiah pengendalian sedimentasi dan rehabilitasi pesisir, serta penyusunan program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat yang lebih partisipatif.
Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan menilai pembenahan tata kelola nikel sangat mendesak. “Perlunya pembenahan sistemik pada tata kelola pertambangan nikel di Sulawesi Tenggara, terkhusus di dua lokasi yakni Morosi dan Mandiodo, agar dapat selaras dengan kerangka pertambangan yang bertanggung jawab serta memastikan perlindungan lingkungan, kesejahteraan masyarakat, dan penghormatan hak asasi manusia,” ujarnya.

5 hours ago
3













































