Jakarta, CNBC Indonesia- Ngopi kini bukan sekadar urusan kafe klasik dengan meja kayu panjang dan barista yang lihai memainkan portafilter.
Di Berlin, Jerman, tren baru justru digerakkan oleh anak muda, terutama Gen Z, lewat kehadiran jaringan kedai kopi bernama LAP Coffee.
Dengan modal branding kekinian, harga terjangkau, serta dukungan investor besar, fenomena ngopi murah meriah ini mulai mengguncang ekosistem kafe lokal.
Melansir dari The Berliner, formula LAP Coffee sederhana, toko kecil, desain ringkas, dan cappuccino seharga €2,50 atau setara Rp45 ribuan.
Hanya dalam dua tahun, startup ini sudah membuka 13 gerai di Berlin, dengan ekspansi ke Munich dan Hamburg.
Targetnya jelas jadi tempat persinggahan mahasiswa, kurir sepeda, hingga seniman muda yang ingin ngopi cepat tanpa menguras kantong.
Yang membedakan, LAP Coffee lebih mirip startup teknologi ketimbang kafe tradisional.
Semua serba digital, mulai dari pemesanan, poin loyalti, hingga sistem pembayaran. Bahkan, mesin kopi otomatis menggantikan barista manual, hanya menyisakan proses frothing susu yang tetap dilakukan dengan tangan.
Untuk menarik massa muda, LAP Coffee juga sering berkolaborasi dengan brand fashion maupun dating apps, menciptakan suasana yang lebih mirip pop-up event bukan sekadar warung kopi.
Namun, kehadiran model ini memicu perdebatan.
Bagi para pegiat kopi independen, harga murah ala LAP dianggap bisa merusak ekosistem.
Phillip Reichel, pemilik Isla Coffee di kawasan Neukölln, menyebut harga cappuccino €3,50 atau sekitar Rp 68.800 (1€=19.690) yang ia jual sebenarnya "adil" karena memperhitungkan biaya produksi dari petani hingga barista. Ia menilai, kegagalan kafe independen justru terletak pada kurangnya edukasi soal nilai kopi kepada pelanggan.
Meski begitu, LAP Coffee mengklaim kualitas tetap dijaga. Mereka bekerja sama dengan roaster ternama di Berlin, 19 grams, yang dikenal mengutamakan ethical sourcing. Hanya saja, berkat pembelian dalam jumlah besar, harga bahan baku tentu bisa ditekan, memberi ruang bagi model bisnis yang lebih kompetitif.
Dibalik cepatnya ekspansi, LAP Coffee juga didukung nama-nama besar di dunia investasi seperti HV Capital, Foodlabas, dan Insight Partners dari AS. Dengan dukungan modal jumbo, pertumbuhan mereka sulit diimbangi oleh kafe indie yang modalnya terbatas. Tak heran muncul kekhawatiran bahwa banyak kafe lokal bisa tergeser dari peta persaingan.
Meski menuai kritik, sebagian pelaku kafe melihat fenomena ini sebagai alarm sekaligus peluang. Bahwa era ngopi di Jerman kini mulai bergerak ke arah efisiensi, digitalisasi, dan diferensiasi nilai. Kalau kafe independen ingin bertahan, perlu untuk bisa menjual cerita, pengalaman, dan nilai tambah yang tak bisa ditawarkan mesin otomatis.
Konsumsi kopi per kapita di Jerman tidak termasuk yang tertinggi di Eropa, tetapi dengan sekitar 5,4 kg per tahun, jumlah ini masih di atas rata-rata Eropa yang sekitar 5 kg.
Menurut Asosiasi Kopi Jerman, konsumsi kopi panggang di rumah meningkat sebesar 7.900 ton, sedangkan konsumsi kopi di luar rumah menurun sebesar 5.800 ton pada tahun 2021. Penurunan konsumsi di luar rumah ini terutama disebabkan oleh pandemi Covid-19 secara global.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
(emb/emb)