REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST), pengelola jaringan restoran cepat saji KFC di Indonesia, mengakui bisnisnya belum sepenuhnya pulih meski pandemi telah berakhir. Tekanan transaksi yang masih lesu akibat boikot serta menurunnya daya beli masyarakat membuat perusahaan harus mengubah strategi bisnisnya secara fundamental.
“Perseroan mengalami berbagai macam tantangan mulai dari Covid-19, kemudian adanya boikot pada 2023 hingga 2024, dan sekarang penurunan daya beli yang menyebabkan transaksi menurun signifikan,” ujar Direktur Fast Food Indonesia, Wahyudi Martono, dalam Public Expose virtual, dikutip Senin (6/10/2025).
Hingga 30 Juni 2025, perusahaan masih mencatat rugi bersih sebesar Rp143 miliar, meski membaik dibandingkan rugi Rp407 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya. Penjualan juga turun menjadi Rp2,4 triliun atau merosot Rp77 miliar dibandingkan semester pertama 2024.
Lesunya transaksi membuat KFC melakukan langkah efisiensi besar-besaran, termasuk menutup 19 gerai sepanjang tahun ini dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sekitar 400 karyawan. Sejumlah pusat dukungan juga digabungkan menjadi satu di Jakarta, sementara jumlah kru disesuaikan dengan volume transaksi.
“Selain penutupan gerai, kami juga melakukan penggabungan beberapa pusat dukungan dan relokasi lokasi usaha yang tidak potensial agar transaksi dine-in dapat meningkat,” kata Wahyudi.
Tak hanya mengandalkan efisiensi, KFC kini juga memperkuat fondasi bisnisnya melalui pengembangan rantai pasok bahan baku. Perusahaan menunjuk anak usahanya, PT Jagonya Ayam Indonesia, untuk membangun peternakan ayam terintegrasi di Banyuwangi yang ditargetkan beroperasi penuh pada akhir 2026.
“PT Sangkara membeli 35 persen saham PT Jagonya Ayam Indonesia, anak usaha kami yang membangun integrasi peternakan ayam,” ujar Wahyudi.
Langkah ini menjadi bagian penting dari transformasi bisnis untuk menjaga keberlanjutan usaha jangka panjang. Integrasi pasokan bahan baku diharapkan dapat menekan biaya produksi sekaligus mengurangi ketergantungan pada pemasok eksternal.
Perusahaan menilai prospek permintaan terhadap produk ayam masih besar seiring pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan masyarakat. Faktor tersebut menjadi alasan KFC tetap optimistis bisnis akan bertumbuh meski masih dibayangi tekanan akibat boikot dan pelemahan daya beli.
“Berdasarkan tiga tolak ukur tersebut, kami yakin potensi ke depan sangat baik dan perusahaan akan dapat bertumbuh,” kata Wahyudi.