Sejarah Tanah Suci Baitul Maqdis: Era Khalifah Hingga Ancaman Zionis

2 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada masa amirul mukminin Umar bin Khattab, umat Islam untuk pertama kalinya membebaskan Baitul Maqdis (Yerusalem). Sejak itu, tanah suci ketiga setelah Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawarrah tersebut mengalami pergantian kekuasaan silih berganti.

Beberapa kali, kota ini jatuh ke tangan non-Muslim meskipun kemudian berhasil kembali berada di pangkuan Islam. Terakhir, Kesultanan Turki Utsmaniyah pada 1517 dapat menguasainya setelah mengalahkan Dinasti Mamluk.

Hingga tahun 1917 atau selama kira-kira empat abad, kekhalifahan yang berpusat di Konstantinopel (Istanbul) itu memerintah Baitul Maqdis. Kota tersebut, bersama dengan Gaza dan Nablus, secara administratif masuk ke dalam wilayah Provinsi Suriah (Vilayet Syria).

Para sultan Turki menyadari signifikansi Baitul Maqdis tidak hanya bagi umat Islam, melainkan juga Yahudi dan Kristen. Karena itu, kebijakan-kebijakan yang diterapkan di sana cenderung menghargai kemajemukan dan keterbukaan.

Terkait kaum Yahudi, arah politik Utsmaniyah berkali-kali menuai pujian. Salah satunya adalah uluran tangan Turki untuk kaum Yahudi yang terusir dari tempat tinggalnya di Andalusia (Spanyol). Yahudi Sephardi, demikian mereka disebut, pada abad ke-15 menjadi sasaran Inkuisisi Spanyol. Oleh sultan Turki, para pengungsi Sephardi itu dibolehkan tinggal di wilayah kekuasaannya, termasuk Baitul Maqdis.

Budi baik Turki itu menjadi memori abadi di benak sejumlah kaum Yahudi bahkan hingga abad modern. Pada 1870-an, sebuah organisasi Yahudi internasional yang berbasis di Paris, Prancis, Alliance Israelite Universelle, mengirimkan surat yang berisi ucapan selamat kepada Sultan Abdulhamid II. Salah satu kutipannya mengenang kembali momen penyelamatan atas kaum Yahudi Sephardi, “Pada musim semi tahun 1492, kaum Yahudi yang diusir dari Spanyol menemukan perlindungan di Turki.” Demikian dikutip dari buku The Jews of the Ottoman Empire (1994).

Akan tetapi, abad ke-20 menjadi saksi perubahan dramatis geopolitik di Turki Utsmaniyah. Pada 1908, Abdulhamid II digulingkan dari kekuasaannya. Kendali pemerintahan dipegang militer. Pemimpinnya adalah Enver Pasha dan Talat Pasha. Keduanya membuka aliansi dengan Jerman, beberapa saat sebelum pecah Perang Dunia I (1914-1918).

Turki dan Jerman, bersama dengan Austri-Hongaria, tergabung dalam Blok Sentral. Musuh mereka adalah kubu Sekutu, yang terdiri atas antara lain Britania Raya, Prancis, Rusia, dan Amerika Serikat (AS). Untuk melemahkan Utsmaniyah, Inggris mengajak bangsa Arab untuk memberontak terhadap Turki.

Di Hijaz, pemimpin Makkah kala itu telah bersepakat untuk melawan Utsmaniyah dengan sokongan Inggris. Britania Raya menjanjikan, bila Turki kalah, pihaknya akan mendukung Arab untuk menguasai wilayah Semenanjung Arab, Suriah, dan Irak. Janji itu termaktub dalam korespondensi antara Komisaris Tinggi Inggris di Mesir Sir Henry McMahon dan Syarif Hussein bin Ali selaku amir Makkah.

PD I berakhir pada 1918. Namun, setahun sebelumnya Inggris “terlanjur” membuat perjanjian dengan tokoh-tokoh Zionis Internasional. Gerakan ini dirintis pada 1897 oleh aktivis Yahudi dari Austro-Hongaria, Theodor Herzl. Dia dan para pendukungnya mendambakan negara bagi seluruh orang Yahudi, yang saat itu hidup terpencar-pencar di berbagai belahan dunia.

Sekira 200 orang mengikuti kongres pertama Gerakan Zionis Internasional di Basel, Swiss, pada 1897. Mereka bersepakat, negara Yahudi yang diimpikan itu akan bernama Israel. Dan, lokasinya pun ditetapkan, yakni di Palestina, yang kala itu masih menjadi bagian dari Turki Utsmaniyah.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |