Sosok Pemimpin tak Haus Jabatan

2 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Walaupun berasal dari golongan ningrat, Umar bin Abdul Aziz lebih suka melihat dirinya sebagai pembelajar. Berjumpa dengan para alim ulama itu lebih disukainya daripada berada di istana yang megah. Sejak berusia anak-anak, ia telah dididik oleh sejumlah sahabat Nabi Muhammad SAW dan kalangan tabiin.

Ia naik menjadi khalifah sesudah wafatnya Sulaiman bin Abdul Malik pada 717 M. Keterpilihannya tidak terlepas dari sepak terjang yang positif. Bahkan, Umar bin Abdul Aziz dipandang sebagai teladan oleh masyarakat luas ketika itu.

Karena itu, Raja’ bin Haiwah selaku penasihat kerajaan kemudian menemui Sulaiman. Ketika itu, sang khalifah sedang didera sakit parah. Ulama tersebut hendak mengusulkan kepadanya agar menunjuk Umar sebagai penerus kepemimpinan Umayyah.

Sebelum Sulaiman memutuskan pilihan, ada beberapa nama yang telah disodorkan kepadanya. Misalnya, Ayyub dan Dawud bin Sulaiman yang tidak lain adalah putranya sendiri. Di samping itu, ada pula Yazid bin Abdul Malik. Bahkan, sang khalifah dalam kondisi demikian sempat berencana menunjuk Ayyub.

Akan tetapi, Ayyub ketika itu dinilai belum pantas lantaran usianya yang belum dewasa. Pada saat itulah, Raja’ datang kepada sang khalifah untuk memberikan nasihat. Ulama tersebut mengusulkan kepadanya agar mempertimbangkan Umar bin Abdul Aziz sebagai sosok penggantinya. “Sungguh, kebaikan akan mengalir ke kuburan seseorang yang mengangkat penerus yang saleh,” katanya.

“Bagaimana pribadi Umar menurut engkau?”

“Demi Allah, yang aku tahu, dia adalah laki-laki yang utama, Muslim pilihan,” jawab Raja’.

Beberapa pekan sebelum wafat, Sulaiman memantapkan keputusannya dengan menulis sebuah surat wasiat. Kepada para keluarga dan pejabat tinggi, sang khalifah berpesan agar surat tersebut tidak dibuka sebelum dirinya meninggal dunia.

Akhirnya, Sulaiman wafat dalam usia 42 tahun. Orang-orang terdekat lalu membuka surat yang ditinggalkannya. Redaksi wasiat itu berbunyi demikian.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah surat wasiat Sulaiman bin Abdul Malik, Amirul Mukminin, untuk Umar bin Abdul Aziz. Sungguh, aku menyerahkan jabatan khalifah kepadanya, Umar, sesudahku. Kemudian, sesudah itu kepada Yazid bin Abdul Malik. Maka dengarkan dan taatilah. Bertakwalah kepada Allah. Janganlah berselisih. Sebab, musuh-musuh kalian akan berharap dapat mengalahkan kalian.”

Saat mendengar informasi tentang isi surat wasiat itu, Umar bin Abdul Aziz justru terkejut. Ia pun sempat menolak pesan sang almarhum. Ekspresi itu ditunjukkannya karena mantan gubernur Mesir tersebut bukanlah sosok yang haus jabatan.

Pada akhirnya, Umar tidak lagi bisa mengelak. Ia pun datang ke Damaskus untuk memulai tugasnya sebagai khalifah Umayyah.

Di atas mimbar, ia membawakan pidato kenegaraan pertama. “Jamaah sekalian!” katanya di hadapan ratusan warga, “sungguh, aku telah diuji dengan perkara ini. Tanpa dimintai pendapat, tidak pernah ditanya, dan tidak pula ada musyawarah. Namun, namaku muncul dalam surat wasiat beliau (Sulaiman). Maka dari itu, aku akan membatalkan baiat kalian untukku. Sekarang, wahai kaum Muslimin, pilihlah seseorang untuk memimpin kalian!”

Namun, orang-orang serentak menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, kami telah memilihmu, kami menerimamu, silakan pimpin kami dengan kebaikan dan keberkahan.”

Saat itulah, Umar sadar bahwa dirinya tak bisa menghindar dari tanggung jawab. Maka, ia menerima pengangkatan dirinya sebagai khalifah pada Jumat 11 Shafar 99 Hijriah. 

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |