Serambi Disertasi dan Cahaya Songket Serumpun: Cerita dari Pandai Sikek hingga Nusantara

3 hours ago 2
 Dok RUZKA INDONESIA) Diskusi hangat bertajuk “Songket Warisan Serumpun Antar Bangsa.” (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Jumat sore 24 Oktober 2025 menjelang malam di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), langit Depok diguyur hujan yang lembut.

Rintik yang jatuh di Serambi Disertasi tak mampu menyurutkan semangat sekelompok mahasiswa dan pemerhati budaya yang berkumpul dalam sebuah diskusi hangat bertajuk “Songket Warisan Serumpun Antar Bangsa.”

Di balik suasana teduh dan aroma tanah basah, percakapan mengalir tentang warisan, identitas, dan benang-benang sejarah yang menyatukan bangsa-bangsa serumpun di Nusantara dan Semenanjung Melayu.

Diskusi ini menghadirkan Razamon Anwar, M.Si., seorang psikolog dan penggiat revitalisasi Songket Minangkabau, yang akrab disapa Uni Oza.

Baca juga: Catatan Cak AT: Satu Triliun untuk Media

Ia dikenal luas sebagai pendiri dan penggerak Rumah Gadang Bahanjuang Pusaka di Nagari Pandai Sikek, Sumatera Barat sebuah komunitas yang mendedikasikan diri pada pelestarian dan pendidikan budaya Songket Minangkabau.

Diskusi dipandu oleh Asfarinal, Ketua Mahasiswa Doktoral FIB UI angkatan 2024, yang dengan tenang dan penuh empati mengarahkan jalannya perbincangan.

“Songket bukan sekadar kain indah,” ujar Uni Oza membuka percakapan.

"Ia adalah teks budaya, narasi visual yang ditenun oleh tangan-tangan perempuan Minangkabau membawa pesan tentang adat, kesabaran, dan tatanan sosial.”

Baca juga: Resmikan "Elegant Lifestyle House" Pertama dan Lansir Teknologi "LEPAS Elegant" secara Global

Dalam paparannya, Uni Oza menjelaskan bagaimana Songket Minangkabau menjadi simbol kehormatan dalam struktur adat. Motif-motifnya bukanlah hiasan semata, melainkan cermin dari sistem nilai masyarakatnya.

Pola pucuak rabuang, misalnya, melambangkan pertumbuhan dan kebijaksanaan; bada mudiak mengisahkan perjalanan hidup; sementara saluang panjang dan bintang marangkai menandakan doa dan pengharapan.

Semua itu, katanya, menunjukkan bahwa setiap helai Songket adalah karya yang sarat makna filosofis.

Namun, Uni Oza tidak berhenti pada romantisme tradisi. Ia menyoroti pula tantangan keberlanjutan Songket di tengah arus modernisasi dan pasar global.

Baca juga: Eurofragance Perkenalkan Parfum Premium Olivante Berbahan Inovatif Terbaru

“Banyak pengrajin yang mulai meninggalkan profesinya karena rendahnya nilai ekonomi. Sementara di sisi lain, permintaan pasar luar negeri justru meningkat. Di sinilah kita perlu hadir dengan strategi pelestarian yang berbasis komunitas dan pengetahuan lokal,” tuturnya.

Diskusi kemudian bergerak pada isu relasi kuasa dan ekonomi budaya. Uni Oza menyinggung bagaimana perempuan menjadi penjaga tradisi, namun seringkali kurang mendapatkan posisi strategis dalam rantai produksi dan distribusi.

Ia menekankan pentingnya pemberdayaan perempuan penenun sebagai aktor utama dalam revitalisasi Songket.

"Revitalisasi bukan hanya menjaga motif, tetapi juga memperkuat posisi sosial mereka yang menenun masa depan warisan ini,” tambahnya.

Baca juga: Menyambut Malam Tahun Baru di Bali Penuh Kilau

Sementara itu, Asfarinal menautkan diskusi ini ke arah yang lebih luas yakni upaya pengusulan Songket sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia UNESCO melalui kerja sama lintas negara antara Indonesia dan Malaysia.

Ia menegaskan pentingnya membangun persaudaraan serumpun antar pengrajin dan komunitas budaya. “Songket adalah jembatan, bukan batas,” ujarnya.

"Melalui kain ini, kita bisa memperlihatkan bagaimana bangsa-bangsa serumpun di Asia Tenggara saling berkelindan dalam sejarah, estetika, dan spiritualitas.”

Diskusi menjadi semakin hidup ketika Uni Fitra, salah satu peserta sekaligus penggiat kriya, memperlihatkan koleksi Songket Nusantara yang luar biasa: Songket Aceh dengan sulaman emas yang megah, Songket Palembang yang berkilau, Songket Sambas yang lembut dan simbolik, kain Cual dari Bangka yang menawan, Songket Karangasem dan Lombok dengan sentuhan motif lokal yang unik.

Baca juga: Pasukan Berkuda Polri Gelar Patroli Jumat Berkah

Koleksi itu memantik rasa kagum sekaligus kesadaran bahwa Songket bukan hanya milik satu daerah, melainkan simbol kebersamaan kultural di seluruh Nusantara.

Seorang mahasiswa S1 Arkeologi yang turut hadir menyampaikan ketertarikannya untuk meneliti pola-pola visual dan arkeologi simbolik pada Songket.

Ia melihat bagaimana tenunan tradisional dapat dibaca sebagai artefak budaya yang hidup, bukan benda mati di museum.

"Songket adalah arkeologi yang menenun dirinya sendiri,” ujarnya lirih, mendapat tepuk tangan dari peserta lain.

Menjelang malam, hujan mulai reda. Serambi Disertasi FIB UI yang semula basah mulai mengering, tetapi semangat para peserta tetap menyala.

Baca juga: Menkomdigi: 90 Juta Peluang Kerja Baru Terbuka Lewat AI

Diskusi ditutup dengan refleksi dari Uni Oza yang menyentuh hati: “Kalau kita bicara Songket, kita bicara tentang perempuan, tanah, dan jiwa bangsa. Warisan ini tidak hanya untuk dikenang, tapi untuk dihidupkan kembali dalam setiap langkah kita.”

Acara berakhir dengan suasana hangat dan penuh harapan. Beberapa peserta masih terlihat berbincang sambil memegang potongan kain Songket, seakan sedang menyentuh sejarah yang berdenyut di dalamnya.

Di tengah perubahan zaman yang cepat, diskusi sederhana di Serambi Disertasi itu terasa seperti upaya menenun kembali ingatan kolektif bangsa bahwa warisan bukanlah masa lalu yang mati, melainkan benang kehidupan yang terus disulam untuk masa depan. (***)

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |