Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat (AS) makin resah dengan serangan siber besar-besaran yang diduga dilakukan oleh Kementerian Keamanan Negara China atau Ministry of State Security (MSS).
Aksi peretasan ini bukan hanya menyasar jaringan di Negeri Paman Sam, tapi juga puluhan negara lain, dan dipandang sebagai ancaman serius bagi keamanan global.
Pada 2023, Direktur CIA William J. Burns bahkan terbang diam-diam ke Beijing untuk memperingatkan langsung Menteri Keamanan Negara China.
Dalam pertemuan itu, Burns menegaskan akan ada konsekuensi jika malware yang ditanam benar-benar diluncurkan. Namun, bukannya surut, serangan justru semakin masif.
Kelompok peretas yang dikenal dengan nama Salt Typhoon terungkap telah melakukan penyusupan selama bertahun-tahun. Mereka diduga mencuri informasi hampir seluruh warga AS dan menargetkan berbagai negara lain.
Dalam pernyataan bersama, sejumlah negara korban Salt Typhoon menyebut data yang dicuri bisa memberi Beijing kemampuan untuk melacak komunikasi dan pergerakan target di seluruh dunia.
Menurut pakar, MSS kini telah berkembang menjadi salah satu badan spionase siber paling tangguh di dunia, menyaingi Badan Keamanan Nasional (NSA) AS dan GCHQ Inggris.
Berbeda dengan peretas bayaran China di masa lalu yang cenderung ceroboh, operasi Salt Typhoon berjalan sistematis, yakni menemukan celah sistem, menyusup, mencuri data, berpindah antarjaringan, hingga menghapus jejak keberadaan.
"Salt Typhoon menunjukkan sisi strategis dan keterampilan tinggi dari operasi siber MSS, yang selama ini tertutupi oleh sorotan terhadap peretas kontrak berkualitas rendah," ujar Alex Joske, penulis buku tentang kementerian itu, dikutip dari New York Times, Selasa (30/9/2025).
Bagi Washington, ancaman ini tak main-main. Dalam skenario konflik masa depan, China dinilai mampu melumpuhkan infrastruktur vital AS mulai dari komunikasi, listrik, hingga pasokan air.
Nigel Inkster, mantan pejabat intelijen MI6 Inggris, menyebut serangan itu sekaligus menjadi strategi intimidasi Beijing.
"Jika mereka tetap tidak terdeteksi di jaringan, itu memberi keuntungan besar saat krisis. Tapi jika terdeteksi, tetap menjadi efek gentar. Pesannya jelas: 'Lihat apa yang bisa kami lakukan jika mau'," kata dia.
Bangkitnya MSS sendiri tak lepas dari reformasi Xi Jinping sejak 2012. Xi membatasi peran militer dalam operasi peretasan, membersihkan pejabat korup di kementerian, serta menempatkan keamanan nasional sebagai inti kebijakan.
Dengan menggandeng perusahaan teknologi domestik, MSS kini punya alur perekrutan peretas ofensif yang lebih solid.
Pemerintah China bahkan mewajibkan setiap kerentanan perangkat lunak baru dilaporkan terlebih dahulu ke basis data yang diduga dikendalikan MSS. Perusahaan teknologi diberi insentif finansial untuk memenuhi kuota bulanan dalam melaporkan celah keamanan.
(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Marks & Spencer Kena Serangan Siber, Rugi Rp15,35 Triliun