Visa 500 Mahasiswa Asing di AS Dicabut dengan Alasan Tak Jelas

17 hours ago 3

Jakarta, CNN Indonesia --

Kseniia Petrova, seorang peneliti asal Rusia di Harvard Medical School, ditahan oleh imigrasi Amerika Serikat hanya karena membawa embrio katak "tidak berbahaya" tanpa mendeklarasikannya di formulir bea cukai saat kembali dari Prancis. Alih-alih dikenai denda, visa pertukaran pelajarnya langsung dicabut dan ia dibawa ke pusat penahanan.

Menurut pengacaranya, Greg Romanovsky, tindakan itu adalah "hukuman yang sangat tidak sebanding dengan kesalahan administratif yang tidak disengaja."

Namun, pihak Departemen Keamanan Dalam Negeri menyatakan, pesan dalam ponsel Petrova menunjukkan ia memang berencana menyelundupkan embrio tersebut tanpa pemberitahuan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kini, Petrova mendekam di pusat tahanan Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) di Louisiana, menunggu sidang deportasi pada 9 Juni. Ia terancam dikembalikan ke Rusia, di mana pengacaranya mengklaim bahwa Petrova akan langsung ditangkap karena kritik vokalnya terhadap invasi Rusia ke Ukraina.

Petrova bukan satu-satunya. CNN melaporkan lebih dari 525 visa pelajar, dosen, dan peneliti asing telah dicabut sepanjang tahun ini, berdasarkan dokumen pengadilan, pernyataan pengacara, dan konfirmasi dari lebih dari 80 universitas di AS.

Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, mengonfirmasi bahwa lebih dari 300 visa telah dicabut di bawah arahannya, mayoritas merupakan visa pelajar.

Awalnya, pencabutan visa fokus pada mereka yang diduga mendukung organisasi teroris. Namun kini, kasus-kasus semakin banyak melibatkan kesalahan administratif ringan, bahkan tanpa alasan jelas sama sekali.

Xiaotian Liu, peneliti lulusan Dartmouth asal Tiongkok, adalah salah satu dari banyak mahasiswa yang mencari keadilan di pengadilan setelah visanya dibatalkan tanpa alasan. Meski pengacaranya mengakui Departemen Luar Negeri berhak mencabut visa, mereka menekankan bahwa ICE tidak punya dasar hukum untuk segera mengusir Liu tanpa sidang.

Hakim federal akhirnya mengabulkan permohonan Liu untuk menunda deportasinya.

Di kasus lain, Dogukan Gunaydin, mahasiswa pascasarjana Universitas Minnesota, ditahan ICE karena pernah dihukum atas kasus mengemudi dalam keadaan mabuk. Anehnya, visanya baru resmi dicabut tujuh jam setelah ia ditahan dalam perjalanan ke kampus.

"Secara hukum, memang pelanggaran DUI bisa menjadi dasar pencabutan visa. Tapi menjadikannya alasan deportasi langsung? Tidak ada preseden untuk itu," ujar David Wilson, pengacara imigrasi dari Minneapolis.

Dengan lebih dari 1,5 juta orang di AS berada di bawah visa pelajar F-1 dan M-1, serta 300 ribu pemegang visa J-1 untuk program pertukaran akademik, situasi ini menciptakan ketakutan luas di komunitas mahasiswa internasional.

Beberapa universitas seperti Stanford, UCLA, dan University of Texas mengaku tidak diberi tahu langsung bahwa mahasiswa mereka visanya telah dicabut. Banyak yang baru mengetahui setelah mengecek sistem imigrasi secara mandiri.

"Ancaman deportasi mendadak seperti ini bukanlah hal biasa, kecuali ada ancaman keamanan serius," kata Sarah Spreitzer dari American Council on Education.

Beberapa mahasiswa bahkan menerima imbauan untuk "mengajukan deportasi sukarela" demi menghindari penahanan. Aplikasi online "CBP Home" kini memungkinkan pemegang visa untuk memberi tahu pemerintah bahwa mereka bersedia keluar dari AS tanpa perlawanan. Jika tidak, pemerintah mengancam akan menangkap dan melarang mereka kembali selamanya.

Harga dari ketidakpastian

Jayson Ma, mahasiswa asal Tiongkok di Carnegie Mellon University, mengetahui visanya dicabut setelah ditelepon pihak kampus.

"Koper saya sudah setengah terkemas. Saya hanya ingin hidup saya kembali normal dan menyelesaikan kuliah," katanya.

Tak hanya secara emosional, tekanan ini juga datang dalam bentuk finansial. Departemen Keamanan Dalam Negeri menyatakan mereka bisa mengenakan denda hingga $998 per hari atau sekitar Rp16 juta bagi imigran yang tinggal di AS setelah mendapat perintah deportasi final.

Sementara proses hukum berjalan lambat, banyak mahasiswa merasa hidup mereka tergantung di ujung tanduk.

"Bahkan warga negara yang sudah dinaturalisasi sejak 10 tahun lalu sekarang bertanya, 'Kalau saya pernah kena tilang, apa saya masih bisa bepergian?'" kata Wilson.

"Ketakutan yang menyebar membuat orang merasa setiap kontak kecil dengan aparat bisa meruntuhkan hidup mereka di AS." Lanjutnya.

[Gambas:Video CNN]

(tis/tis)

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |