Catatan Cak AT: Menjadi Tom Cruise

1 hour ago 1
 Dok RUZKA INDONESIA) Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Menjadi Tom Cruise. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Mari kita mulai dari pengakuan jujur yang hanya mungkin diucapkan oleh dua jenis manusia: para sufi yang sudah _fana'_ atau para aktor Hollywood yang sudah kehabisan kata-kata untuk menjelaskan prestasinya sendiri.

Tom Cruise jelas bukan kategori pertama, tapi kalimatnya — _"Making films is who I am"_ — punya aroma mistik yang tak kalah dari dzikir malam para ahli tarekat. Ia bukan sekadar berkata "aku membuat film", tapi "aku adalah film itu sendiri."

Itu satu pengakuan identitas yang kalau diucapkan oleh orang lain mungkin terdengar lebay.

Tapi, di mulut Cruise, pernyataan tersebut justru terasa seperti tesis panjang tentang jiwa manusia dan kamera yang tak pernah padam bertahun-tahun.

Orang sering meledek Cruise karena belum pernah menang Oscar. Katanya, mustahil seorang bintang sebesar itu tak punya satu pun piala emas yang jadi totem sakral Hollywood.

Tapi yah, hidup memang suka bercanda. Ada aktor yang menang Oscar hanya karena sekali coba. Ada pula yang seperti Cruise: bertahun-tahun kerja gila-gilaan, tubuh babak-belur, tulang retak kiri-kanan, melompat dari gedung, tergantung dari pesawat, nyaris wafat karena adegan sendiri, tapi tetap pulang tanpa Oscar, patung kecil berlapis emas itu. Ibarat murid juara kelas tapi tetap tidak dipilih jadi ketua OSIS karena "kurang vibes".

Namun akhirnya, pada satu malam di Los Angeles, dunia film seakan berkata: "Baiklah, Tom, kamu memang keras kepala, tapi kamu orangnya." Dan diberikannya lah _Honorary Oscar_ di acara Governors Awards.

Itu sejenis penganugerahan yang hanya jatuh kepada mereka yang tak lagi perlu pembuktian. Semacam gelar "kiai sepuh" dalam pesantren perfilman: bukan karena satu kitab, tapi karena seluruh hidupmu adalah kitab itu sendiri.

Baca juga: Buruan Lamar! BPS Buka lowongan 190 Ribu Petugas Sensus Ekonomi 2026, Ini Syaratnya

Di panggung Governors Awards itu, Cruise tidak berdiri sendirian seperti gladiator tua yang baru saja memenangkan laga terakhirnya. Ia berdiri sejajar dengan para legenda yang datang dari jalur berbeda —Dolly Parton sang penyanyi dermawan, Debbie Allen sang koreografer dan produser yang membesarkan generasi, serta Wynn Thomas sang arsitek visual layar lebar.

Mereka empat nama yang seperti empat arah mata angin seni: dari musik, gerak, rupa, dan akting. Dan Cruise, pada usia 63 tahun, akhirnya datang membawa dirinya bukan sebagai pemenang Oscar, melainkan sebagai manusia yang diberi tempat duduk resmi di meja para tetua sinema.

Begitu namanya dipanggil, ruang Ray Dolby Ballroom mendadak berubah seperti gereja agung yang menerima kedatangan santo baru. Standing ovation berlangsung lama, sampai-sampai para bintang yang biasa bertepuk tangan ala kadarnya pun kini bersorak layaknya suporter klub sepak bola Spanyol.

Steven Spielberg berdiri paling awal, Leonardo DiCaprio ikut tepuk tangan sampai pipi memerah, Jerry Bruckheimer tampak bangga seperti ayah yang baru melihat anaknya lulus S3. Suasana begitu gaduh dan hangat hingga sejenak kita lupa bahwa ini Hollywood, bukan reuni keluarga besar yang saling memuji tanpa malu-malu.

Ketika Alejandro G. Iñárritu menyerahkan penghargaan itu, dunia perfilman seperti sedang menyodorkan stempel final: Cruise bukan lagi sekadar aktor blockbuster, bukan sekadar maskot _Mission: Impossible_, tapi penjaga api sinema.

Dan ia tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dengan suara yang bergetar namun percaya diri, Cruise berbicara tentang para pembuat film —mereka yang berada di depan kamera, di balik kamera, bahkan yang tidak pernah muncul di daftar kredit tetapi memeras hidupnya demi adegan lima detik. Ia mengucapkan terima kasih kepada semua yang menemaninya selama 45 tahun kiprahnya, menyebut kekuatan film sebagai bahasa pemersatu dunia.

"Sinema membawaku mengelilingi dunia," ucapnya. "Ia membuatku belajar menghargai perbedaan, sekaligus menyadari kemanusiaan kita yang sama." Kalimat itu menggulung perlahan, seperti ombak kecil yang kemudian menabrak karang hati semua orang di ruangan itu.

Baca juga: Periksa Kualitas, Depok Pastikan BBM di SPBU Aman dan Tepat Ukur

Bahwa di dalam gelapnya ruang bioskop, orang kaya dan miskin, orang liberal dan konservatif, orang dari Jakarta maupun dari pedalaman Papua, semua bisa sama. Mereka tertawa bersama, menangis bersama, berharap bersama, bermimpi bersama.

Dan Cruise menyimpulkan dengan pukulan telak yang membuat udara di ruangan seketika berubah: "Jadi membuat film bukanlah apa yang kulakukan; itu adalah diriku."

Perjalanan Tom Cruise tak lahir dari keberuntungan. Laki-laki ini masuk Hollywood seperti tentara menyerbu markas musuh: disiplin, konsisten, dan doyan melakukan hal-hal berbahaya yang membuat sutradara sampai menandatangani asuransi sambil istighfar.

Ia mencuri perhatian dunia lewat _Risky Business_ (1983), membuat sejarah lewat _Top Gun_ (1986), memeras air mata lewat _Rain Man_ (1988), lalu membuktikan kapasitas akting seriusnya lewat _Born on the Fourth of July_ (nominasi Oscar pertamanya).

Karyanya _Jerry Maguire_ memberinya nominasi kedua Oscar, dan _Magnolia_ menghantarnya pada nominasi ketiga. Tapi piala? Tidak pernah benar-benar mampir. Mungkin karena dewan juri kala itu sedang senang plot twist.

Ketika banyak aktor seusianya memilih pensiun dini dan menikmati tumpukan royalti, Cruise justru melakukan hal yang berlawanan dengan akal sehat. Ia menciptakan ulang dirinya lewat _Mission: Impossible_ —yang makin lama makin mirip catatan pengalaman hampir wafat yang dikemas jadi waralaba miliaran dolar.

Ia memanjat gedung Burj Khalifa seperti tukang servis AC yang tak kenal rasa takut. Ia menggantung dari pesawat lepas-landas. Ia berlari dalam setiap film dengan kecepatan yang membuat atlet olimpiade tersinggung.

Dan yang membuat Hollywood sungkem: ia mempertahankan tradisi film layar lebar ketika studio-studio lain panik, terengah-engah mencari jalan selamat di tengah pandemi.

Itulah sebabnya Presiden Ampas, Janet Yang, menyebut Cruise sebagai orang yang "membantu mengantar industri melewati masa paling sulit." Ketika film-film besar ditunda, set-set produksi dibekukan, bioskop tutup dan popcorn basi, Cruise memaksa _Mission: Impossible 7_ tetap berjalan dengan prosedur kesehatan yang super ketat.

Baca juga: Siap Berkompetisi, 30 UMKM Menuju Top 10 Pertapreneur Aggregator 2025

Ia bahkan dimarahi media karena gaya memimpinnya yang "keras" di lokasi syuting. Padahal, sebenarnya ia sedang panik setengah mati mempertahankan ribuan kru agar tak kehilangan pekerjaan. Dalam dunia perfilman, tindakan itu nilainya setara dengan berjihad di garis depan.

Maka ketika Alejandro González Iñárritu memperkenalkannya di panggung Governors Awards, ia berkata bahwa menulis pidato empat menit untuk karier 45 tahun Tom Cruise adalah misi mustahil.

Ia membandingkan Cruise dengan gas: tak berbentuk, tak tertebak, tapi memenuhi seluruh ruang. Bahkan ada cerita jenaka bahwa Cruise makan cabai seperti popcorn, sementara Iñárritu yang orang Meksiko asli justru menangis. Satu perumpamaan kecil yang menunjukkan bahwa intensitas Cruise bukan sekadar akting; ia bawaan pabrik.

Tapi apa rahasia lelaki ini? Mengapa ia bisa tiba di titik puncak dimana hidup dan pekerjaannya melebur tanpa batas?

Pertama, ia penderita kronis dari penyakit yang cuma menyerang orang-orang langka: obsesi tingkat dewa. Cruise tak pernah melakukan sesuatu setengah-setengah.

Ia belajar bertahun-tahun untuk setiap karakter, menguasai seni bela diri, penerbangan, bahkan scuba diving sampai level gila. Adegan-adegan yang dilakukan pemeran pengganti oleh aktor lain, ia kerjakan sendiri dengan senyuman dan peluh, lalu pulang ke rumah sambil membawa lebam-lebam yang tak diklaim BPJS.

Kedua, ia percaya penuh bahwa film adalah ritual. Saat ia berkata _"Making films is who I am,"_ itu bukan metafora manis. Itu pengakuan eksistensial. Di titik tertentu, pekerjaan ini bukan lagi profesi — ia adalah definisi diri.

Sama seperti penyair yang hidup dari kalimat, atau seorang pelukis yang merasa tanpa kanvas ia akan roboh, Cruise hidup dari cerita yang ia ciptakan. Dunia film bukan tempat ia bekerja; itu tempat ia bernafas.

Dan ketiga, ia konsisten hadir. Tidak peduli dunia berubah, teknologi berubah, selera publik berubah, Cruise tetap kokoh seperti tebing yang diterjang ombak Hollywood selama empat dekade.

Ia tak pernah berhenti. Tak pernah mengeluh. Tak pernah "menghilang sebentar." Konsistensi itu, dalam dunia yang suka cepat lupa, adalah bentuk keajaiban tersendiri.

Di malam penghargaan itu, ia menutup dengan kata-kata yang membuat seluruh ruangan hening: bahwa film adalah ruang dimana manusia tertawa, menangis, dan sembuh bersama; bahwa sinema bukan sekadar tontonan, tapi refleksi kemanusiaan kita yang paling jujur.

Dan mungkin di sanalah inti perjalanan Cruise selama ini: ia membuat film bukan untuk mendapatkan Oscar, tapi untuk menghubungkan manusia satu sama lain. Oscar hanyalah bonus, tapi bakti hidupnyalah yang mengangkatnya sampai titik ini.

Pada akhirnya, perjalanan Tom Cruise adalah bukti bahwa kadang puncak prestasi bukan datang dari satu karya monumental, tapi dari hidup yang dijalani dengan totalitas.

Ia membuktikan bahwa kegigihan bisa mengalahkan kegagalan, bahwa konsistensi adalah bentuk paling sederhana dari kejeniusan, dan bahwa pengakuan sejati datang pada waktu yang tepat — bahkan jika butuh empat puluh lima tahun.

Dan seperti biasa, dalam tradisi manusia yang sering belajar terlambat, kita baru sadar bahwa yang pantas dihormati bukanlah piala di tangan aktor, tapi napas panjang perjuangannya. Bahwa puncak penghargaan bukan hanya tentang menang, tapi tentang menjadi. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 23/11/2025

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |