Energi Bukan Komoditas, Tapi Martabat Bangsa

4 hours ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Apakah kita menginginkan, ibu-ibu kembali mencari kayu bakar karena gas melon 3 kilogram kian sulit dijangkau? Sementara di ruang rapat para elite, grafik pertumbuhan ekonomi masih dipamerkan seolah-olah cukup menjawab segalanya.

Kontras ini tajam: angka makroekonomi memang bisa mengilap, tetapi jeritan rakyat di dapur yang kosong adalah alarm keras.

Indonesia memiliki nikel terbesar di dunia, cadangan panas bumi puluhan gigawatt, serta potensi surya dan air yang nyaris tak berbatas. Namun ironinya, sebagian besar kekayaan itu masih diekspor mentah. Nilai tambahnya tak pernah menetap di tanah air.

Begitulah wajah lama pembangunan: menjual murah sumber daya, membeli mahal teknologi, dan membiarkan rakyat membayar ongkos ketidakadilan.

Korea Selatan membuktikan hal sebaliknya. Tanpa nikel, tanpa batubara, mereka memilih jalan sulit: berinvestasi pada ilmu pengetahuan dan kualitas manusia. Kini mereka menjadi pusat teknologi dunia. Brasil dan Afrika, sebaliknya, terjebak kutukan sumber daya. Kaya alam, miskin rakyat.

Kita berada di persimpangan: berani keluar dari kutukan atau mengulang kegagalan sejarah. Langkah keluar bukan utopia. Ia dimulai dari kebijakan sederhana tapi tegas: audit sosial-ekologis sebagai syarat izin tambang, agar setiap eksploitasi menjaga keberlanjutan dan keadilan.

Investasi asing harus tunduk pada prinsip martabat: transfer teknologi ke politeknik, pembagian manfaat untuk desa, penghormatan pada adat.

Di saat bersamaan, gerakan riset lokal wajib dipacu. Energi tidak harus selalu berasal dari mega proyek. Biogas desa, bio-LPG dari limbah pertanian, dapur induksi surya, hingga teknologi tambang berkeadilan bisa lahir dari kampus kecil dan komunitas lokal, bila negara memberi ruang dan dukungan nyata.

Kedaulatan data juga tidak boleh ditunda. Selama distribusi LPG, listrik murah, hingga produksi migas disimpan di server asing, miliaran dolar devisa mengalir keluar.

Norwegia melindungi data migasnya di cloud nasional. India melacak tambangnya lewat sistem digital sendiri. Sementara kita? Masih membayar sewa ke hyperscaler asing.

Rakyat tidak menuntut kemewahan. Mereka hanya ingin energi yang bisa dibeli tanpa antre, harga pangan yang masuk akal, pekerjaan yang bermartabat, dan masa depan yang pasti.

Keadilan energi bukan berarti semua orang mendapat harga murah, tapi memastikan yang paling rentan tidak ditinggalkan. Energi bukan sekadar listrik yang menyala atau BBM yang tersedia. Energi adalah pertahanan, kedaulatan, dan kehormatan bangsa.

Indonesia terlalu besar untuk sekadar jadi penonton dalam transisi global. Saatnya energi berhenti dipandang sebagai komoditas dagang semata. Ia harus diperlakukan sebagai pilar martabat bangsa.

Sejarah tidak menunggu. Pilihannya hanya dua: berani mengubah arah, atau kembali terjebak menjadi ladang kaya yang miskin rakyatnya sendiri.


(miq/miq)

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |