Fadli Zon: Kekerasan Seksual Mei 1998 Nyata, Tapi 'Massal' Perlu Bukti

8 hours ago 2

Oleh: Andi Muhyiddin, Jurnalis Republika dari Slupsk di Polandia

REPUBLIKA.CO.ID, SLUPSK – Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon baru-baru ini tentang pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 memicu kontroversi dan kritik luas dari masyarakat. Kepada wartawan di Polandia, ia bersikeras bahwa terjadinya ruda paksa “secara massal” kala itu masih prlu dibuktikan.

Fadli Zon yang ditemui Republika di Slupsk, Polandia, Senin (16/6/2025) menegaskan kekerasan seksual memang terjadi, namun narasi “massal” menurutnya belum memiliki bukti yang cukup kuat untuk dijadikan fakta sejarah resmi. Menurut Fadli, ia tak menyangkal terjadinya kekerasan perundungan seksual terhadap perempuan, baik pada 1998 maupun saat ini. 

“Tapi istilah massal itu mungkin ya, yang memerlukan satu pendalaman, bukti-bukti yang lebih akurat, data-data yang lebih solid. Karena ini menyangkut nama baik bangsa kita,” ujar Fadli. Pernyataan Menteri Kebudayaan itu menanggapi protes keras dari berbagai elemen masyarakat, termasuk Koalisi Masyarakat Sipil. Mereka menilai pernyataan tersebut mereduksi penderitaan para korban dan melemahkan penegakan keadilan.

Sebelumnya, dalam wawancara Dalam wawancara dengan Uni Lubis di kanal YouTube IDN Times pada 10 Juni, Fadli menyatakan istilah "pemerkosaan massal" belum terbukti secara hukum karena data solid minim. 

Republika menanyai Fadli Zon soal temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) pada 1998. Dalam dokumen temuan TGPF, terungkap kekerasan terhadap perempuan, khususnya etnis Tionghoa, dalam kerusuhan 13–15 Mei 1998. 

Fadli menjawab, dari 52 korban yang disebut dalam laporan, hanya tiga yang memberikan kesaksian langsung. Ia mempertanyakan kejelasan data tentang lokasi kejadian, identitas pelaku, hingga keterkaitannya dengan aktor-aktor negara.

“Yang bisa diverifikasi, yang didengar langsung oleh TGPF itu 3 orang. Coba diperiksa. Dan apakah ada di TGPF itu nama, alamat, atau mungkin peristiwa. Kalau nama mungkin bisa disamarkan. Peristiwanya di mana? Siapa pelakunya atau kira-kira seperti apa?” kata Fadli Zon. 

Menurutnya, dalam laporan itu hanya “seolah-olah” pelakunya diarahkan berambut cepak dan kejadian berlangsung sistematis serta terorganisir. “Kalau memang ada (pemerkosaan massal), buktikan dong. Kan itu mau mengarah kepada TNI, tentara, atau oknum.”

Bagaimanapun, Fadli juga menegaskan bahwa ia mengecam keras segala bentuk kekerasan seksual, baik di masa lalu maupun yang masih terjadi hingga saat ini.

Menolak Tuduhan Menyepelekan Kekerasan

Fadli menyatakan pernyataannya tentang pemerkosaan massal 1998 adalah sikap pribadi, bukan sikap pemerintah. Ini adalah bentuk kebebasan berpendapat. Namun ia menegaskan mengutuk dan mengecam keras peristiwa kekerasan pada Mei 1998 dan justru kita ingin mengangkat martabat dan perjuangan kaum perempuan dari masa lalu.  

“Ini sikap saya kan saya di interview, dan saya berpendapat, apakah tidak boleh berbeda pendapat. Iya kan? Tetapi kalau sudah ada fakta hukum, misalnya ada pelakunya jelas, misalnya apakah preman atau siapa pelakunya, itu tidak pernah ada pengadilannya. Ini fakta-fakta hukum yang saya kira tidak ada.” lanjut Fadli. 

Reaksi dan Realitas Sosial

Komnas Perempuan mengingatkan hasil laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait kerusuhan Mei 1998 mengungkapkan temuan adanya pelanggaran HAM yakni peristiwa 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus perkosaan. Temuan tersebut telah disampaikan langsung kepada Presiden RI ke-3 BJ Habibie.

"Ini menjadi dasar pengakuan resmi negara terkait fakta kekerasan seksual terhadap perempuan dalam Tragedi Mei 1998," kata Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih kepada wartawan, Senin (16/6/2025).

Dahlia menyebut temuan itu ditindaklanjuti dengan pembentukan Komnas Perempuan melalui Keppres Nomor 181 Tahun 1998. Adapun Tim TGPF dibentuk sebagai mandat resmi negara melalui keputusan bersama lima pejabat tinggi negara yakni Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, dan Jaksa Agung tertanggal 23 Juli 1998.

Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas yang terdiri dari 547 pihak baik organisasi maupun individu juga mengkritik Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut perkosaan massal saat kerusuhan 13-15 Mei 1998 adalah rumor dan tidak pernah dicatat dalam buku sejarah.

"Kami menilai pernyataan tersebut merupakan bentuk manipulasi, pengaburan sejarah, serta pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang terjadi khususnya kekerasan terhadap perempuan dalam peristiwa Mei 1998," ujar koalisi dikutip dari laman KontraS, Ahad (15/6/2025).

Menurut koalisi, Fadli yang memimpin proyek penulisan ulang sejarah tampak ingin menyingkirkan narasi penting tentang pelanggaran HAM berat dari ruang publik.

Menanggapi sikap Koalisi Masyarakat Sipil, Fadli menghormati kebebasan berpendapat. Namun apa yang ia sampaikan bertujuan untuk agar tidak timbul kesalahpahaman yang merugikan. “Jadi bukan menegasikan, tetapi terutama pada persoalan-persoalan yang jangan sampai merugikan diri kita sendiri. Misalnya tadi pengungkapan. Kalau sudah menjadi fakta hukum, sudah ada misalnya pelakunya, ada pengadilannya, ya kita kecam. Itu satu kejahatan yang luar biasa.”

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |