Idul Adha di Timur: Cinta, Keberagaman, dan Pengingat dari Tanah Papua

5 hours ago 1

Oleh : Hening Parlan, Koordinator GreenFaith Indonesia dan EcoBhinneka Muhammadiyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak mendapat ijin pendirian dan ijin operasional, SMA Muhammadiyah Conservation Manokwari (SMAMCO) saat ini telah membuka pendaftaran siswa. Ini adalah satu-satunya sekolah konservasi di Papua Barat dan bahkan di Indonesia. Sekolah ini unik, dari 39 siswa yang mendaftar sampai 6 Juni, siswa yang beragama Islam ada  12 orang dan selebihnya 27 siswa adalah saudara-saudari kita yang beragama Kristen. Namun di sanalah, di tengah keterbatasan dan jarak dari pusat kita, kita menyaksikan salah satu wujud paling indah dari nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Saat hewan kurban disembelih, suasana berubah menjadi penuh kehangatan. Daging kurban dimasak bersama. Anak-anak—baik yang muslim maupun non-muslim—duduk bersama di lantai sekolah, menikmati masakan kambing dan sapi dalam kebersamaan. Tidak ada jarak yang membatasi mereka. Guru-guru, orang tua siswa, dan warga sekitar turut serta dalam perayaan ini. Takbir menggema bukan hanya sebagai seruan ritual, tetapi sebagai jembatan kasih yang mempersatukan.

Saya tak kuasa menahan haru mendapatkan update dan foto- foto kiriman dari Ibu Kepala sekolah SMAMCO, Ibu Maesarah, M.Pd., GR yang langsung menyaksikan momen ini dan mendampingi siswa dan orangtua siswa. Di ujung timur Indonesia, saya melihat wajah Islam yang ramah, lembut, dan mengayomi. Di tanah dan komunitas yang jauh dari sorotan media nasional, ternyata justru tumbuh nilai-nilai inklusivitas yang begitu luhur. Kurban bukan lagi milik eksklusif umat Islam, melainkan menjadi simbol kemanusiaan dan solidaritas.

Makna Kurban di Tengah Krisis Keberagaman dan Ekologis

Idul Adha selalu mengajarkan tentang keikhlasan. Namun keikhlasan yang sejati bukan hanya tentang menyembelih hewan, melainkan menyembelih ego, prasangka, dan tembok-tembok yang kita bangun terhadap sesama. Di Manokwari, kita  belajar ulang tentang arti Islam yang hidup berdampingan—bukan sekadar dalam teori, tetapi dalam praktik harian.

Kurban di tanah Papua ini menjadi perwujudan nyata dari iman yang berpihak kepada keadilan dan keberagaman. Bagi saya pribadi, momen ini bukan hanya menyentuh sisi spiritual, tetapi juga menggugah kesadaran sosial dan ekologis.

Sebab tak jauh dari Manokwari, kita semua sedang dihadapkan pada kenyataan getir: Raja Ampat, salah satu surga biodiversitas dunia, kini mulai digerus oleh kepentingan industri nikel. Kawasan yang selama ini dikenal dengan lautnya yang bening, terumbu karang yang indah, dan kehidupan masyarakat adat yang selaras dengan alam—terancam berubah menjadi kawasan industri tambang.

Kehadiran industri nikel di kawasan yang selama ini menjadi simbol keindahan alam dan kerukunan antarumat beragama ini adalah paradoks yang harus kita renungkan bersama. Ketika satu sisi Papua menunjukkan nilai keberagaman dan cinta melalui kurban, sisi lainnya justru dipaksa tunduk pada kepentingan eksploitasi.

Kurban Sebagai Pengingat Jalan Panjang Perjuangan

Kurban sejati adalah ketika kita mau melepaskan sesuatu yang kita cintai demi kemaslahatan yang lebih besar. Ibrahim bersedia mengorbankan Ismail bukan karena ketidakpedulian, melainkan karena cinta dan ketaatan yang mendalam. Maka dalam konteks hari ini, apakah kita siap mengorbankan ego sektoral, kepentingan ekonomi jangka pendek, atau gaya hidup yang merusak demi menyelamatkan bumi dan generasi mendatang?

Kurban hari ini tidak cukup hanya berhenti di tataran simbolik. Ia harus menjadi panggilan aksi. Ketika anak-anak dan orang tua berkumpul di SMA Muhammadiyah Conservation, saya tahu bahwa pendidikan yang membawa nilai cinta lingkungan dan cinta sesama adalah jalan yang harus terus diperjuangkan.

Apa yang dilakukan sekolah ini bukan hanya soal pembagian daging kurban. Ini adalah bentuk dari pendidikan spiritual-ekologis yang sangat dibutuhkan di era krisis iklim dan polarisasi agama. Menghadirkan Islam sebagai kekuatan pemersatu, pelindung lingkungan, dan penguat nilai kemanusiaan—itulah kurban sejati.

Islam Hijau dari Tanah Papua

GreenFaith Indonesia dan EcoBhinneka Muhammadiyah, dua gerakan yang saya ikut dalamnya, terus belajar dari praktik-praktik lokal seperti ini. Islam hijau bukan slogan, tetapi tumbuh dari laku kehidupan masyarakat seperti yang saya saksikan di Manokwari. Mereka hidup berdampingan, menjaga hutan, menjaga laut, dan merawat persaudaraan lintas agama.

Saya percaya, pengalaman ini adalah cermin dari masa depan yang kita dambakan: masa depan yang spiritual, damai, dan berkelanjutan. Kurban adalah momentum untuk memperkuat komitmen itu. Dari Manokwari, pesan kurban menjalar bukan hanya ke komunitas muslim, tetapi ke seluruh umat manusia yang mendambakan dunia yang adil dan lestari.

Dari Papua untuk Indonesia

Idul Adha tahun ini mengajarkan bahwa cinta tidak mengenal batas geografi maupun keyakinan. Bahwa Islam sejati akan selalu berpihak pada yang lemah, yang tersisih, dan pada bumi yang tengah menjerit.

Dari SMA Muhammadiyah Conservation di Manokwari, dari wajah-wajah anak-anak Papua yang tersenyum sambil menikmati daging kurban, dan mimpi menyelamatkan lingkungan dan generasi di Papua, kita semua diingatkan: kurban sejati bukan sekadar menyembelih hewan, tetapi tentang menyembelih ketidakpedulian kita pada sesama dan pada alam.

Semoga kisah ini menjadi pengingat, bahwa dari tanah paling timur Indonesia, cahaya Islam yang cinta damai dan cinta bumi akan terus menyala.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |