
TOPNEWS62.COM, DEPOK – Ada satu hal yang selalu terasa ketika membaca tulisan-tulisan Mas Imam Nawawi di masimamnawawi.com ia tidak sedang menjelaskan menulis, tapi sedang hidup di dalamnya. Setiap kalimat yang ia tulis tampak lahir dari perjalanan panjang, bukan sekadar dorongan sesaat.
Dari beberapa artikelnya tentang dunia tulis-menulis mulai dari Menulis Itu Jangan Takut Memulai, Menulis Membantu Tertib dalam Berpikir, Menulis Itu Buah dari Membaca, hingga Mengapa Tekun Menulis? tampak jelas satu hal yang konsisten: menulis telah menjadi bagian dari dirinya.
Mas Imam menulis bukan karena sedang punya waktu, tapi karena menulis adalah cara mengisi waktu. Dalam salah satu tulisannya, ia menegaskan bahwa menulis membantu menata pikiran. Dari situ dapat ditangkap bahwa baginya, menulis adalah alat untuk berpikir, bukan hasil berpikir.
Ia tidak menunggu inspirasi datang. Sebaliknya, inspirasi muncul di tengah proses menulis itu sendiri. Pola ini berulang di banyak tulisannya: bahwa tulisan lahir bukan dari momen besar, melainkan dari rutinitas kecil yang dilakukan terus-menerus.
Menariknya, konsistensi itu tidak dibangun dari ambisi menjadi penulis besar. Ia menulis bukan untuk menunjukkan kehebatan, tetapi untuk menjaga keteraturan pikir dan kejernihan hati. Dalam tulisannya Jangan Takut Menulis! Ini Alasan Kenapa Menulis Itu Baik untuk Kita, ia menegaskan bahwa menulis tidak perlu ditakuti. Tulisan pertama boleh saja berantakan, tapi dari sanalah proses belajar dimulai. Yang penting bukan seberapa bagus hasilnya, tapi seberapa berani kita untuk mulai.
Dalam banyak tulisannya, Mas Imam juga menekankan bahwa kebiasaan menulis yang konsisten tidak mungkin tumbuh tanpa budaya membaca. Ia menulis dengan kesadaran bahwa setiap gagasan perlu diberi asupan, dan asupan terbaik adalah bacaan. Dalam tulisannya Menulis Itu Buah dari Membaca, ia menyebut bahwa menulis dan membaca saling menumbuhkan.
Seseorang yang rajin membaca tidak akan kehabisan bahan untuk menulis, sementara orang yang rajin menulis akan punya alasan untuk terus membaca. Hubungan timbal balik ini sederhana, namun di sanalah salah satu kunci konsistensinya: ia menjaga bahan bakar intelektualnya tetap menyala.
Mas Imam sering mengaitkan menulis dengan ibadah dan dakwah. Ia menulis bukan hanya untuk didengar, tapi untuk berbagi hikmah dan menebar manfaat, sekecil apa pun itu. Barangkali inilah yang membuatnya tidak mudah lelah: karena motivasi menulis datang dari keyakinan bahwa menulis adalah bentuk pengabdian. Ia tidak menulis demi tepuk tangan, tapi demi ketenangan batin.
Dan satu hal lagi yang sangat mencolok dari sosok Mas Imam Nawawi adalah kesabarannya. Dalam setiap tulisannya tersirat pemahaman bahwa hasil dari menulis tidak bisa instan. Ia seperti petani yang sabar menanam, menyiram, dan percaya bahwa suatu hari nanti pohon itu akan berbuah. Ia tahu tidak semua tulisan akan viral, tidak semua orang akan membaca, tapi setiap tulisan adalah bagian dari perjalanan panjang.
Bagi Mas Imam, menulis bukan tentang siapa yang membaca, tetapi tentang siapa yang terus bertumbuh. Konsistensi tidak selalu tampak dari banyaknya karya, melainkan dari kesetiaan terhadap proses. Ia menulis bukan karena sedang ingin, tapi karena ia tahu menulis membuatnya tetap waras, tetap terhubung dengan pikirannya sendiri.
Dari situ tampak bahwa menulis bukan sekadar aktivitas, tapi cara menjaga kesadaran. Kunci konsistensi, menurut Mas Imam, bukan pada teknik, melainkan pada cara pandang. Menulis bukan beban, tapi kebutuhan. Bukan sekadar karya, tapi jalan untuk menemukan makna.
Barangkali di situlah letak “jurus” terpentingnya: ia tidak berusaha menjadi penulis produktif, tapi menjadi manusia yang terus belajar lewat tulisan. Karena pada akhirnya, menulis tidak hanya soal menghasilkan teks, tapi soal menjadi.
Dan dari tulisan-tulisannya, kita tahu: Mas Imam Nawawi sudah lama menempuh jalan itu dengan tenang, pelan, tapi pasti.
Tetap muda, tetap menginspirasi, Mas Imam Nawawi!
Refra Elthanimbary, nestref.com