Mencintai Takdir dengan Hati yang Tegar

4 hours ago 1
Dok. TOPURISDok. TOPURIS

BISNISTIME.COM, BOGOR -- Hidup manusia tidak selalu berjalan di jalan lurus yang lapang. Kadang penuh kerikil tajam, lubang menyakitkan, bahkan persimpangan yang membingungkan. Namun pada akhirnya, setiap langkah adalah bagian dari takdir Allah yang telah ditetapkan jauh sebelum kita lahir.

Belajar mencintai takdir bukan berarti pasrah tanpa usaha, tetapi melatih ketegaran hati dalam menerima kenyataan dengan terus berikhtiar sebaik mungkin. Sebab, di balik takdir yang terasa pahit, Allah selalu menyiapkan hikmah besar yang mungkin belum kita pahami saat ini.

Sering kali manusia merasa tidak adil ketika musibah datang. Ada yang merasa dihukum tanpa sebab, ada pula yang iri melihat hidup orang lain yang tampak lebih mudah. Padahal Allah ﷻ berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 216:

"Dan boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 216)

Ayat ini mengingatkan bahwa pandangan manusia sangat terbatas. Sesuatu yang tampak buruk, bisa jadi itulah jalan menuju kebaikan. Sebaliknya, sesuatu yang tampak menyenangkan, mungkin justru mendatangkan keburukan. Karena itu, mencintai takdir berarti yakin sepenuhnya bahwa Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk kita.

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

"Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya adalah baik. Jika ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, maka itu baik baginya. Jika ia ditimpa kesusahan, ia bersabar, maka itu juga baik baginya." (HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa seorang mukmin selalu berada dalam kebaikan selama ia bersikap benar—bersyukur dalam nikmat, bersabar dalam ujian. Inilah hakikat mencintai takdir: menjadikan setiap kondisi hidup sebagai ladang pahala.

Islam tidak pernah mengajarkan untuk berhenti berusaha. Rasulullah ﷺ mengingatkan, “Ikatlah (untamu) terlebih dahulu, kemudian bertawakkallah.” (HR. Tirmidzi). Artinya, kita wajib berikhtiar semaksimal mungkin, lalu menyerahkan hasilnya kepada Allah. Jika hasil sesuai harapan, bersyukurlah. Jika berbeda, tetaplah sabar, karena itulah takdir terbaik.

Ketika takdir terasa berat—kehilangan orang tercinta, tertimpa musibah, atau hidup dalam kekurangan—ingatlah janji Allah dalam Surah Al-Insyirah ayat 5-6:

"Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan." (QS. Al-Insyirah: 5–6)

Tidak ada kesulitan yang abadi. Selalu ada kemudahan yang menyertainya, meski kadang baru tampak setelah kesabaran diuji.

Kesabaran bukan berarti diam tanpa daya, tetapi kemampuan menahan diri dari keputusasaan dan terus memperbaiki diri. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Tiada seorang muslim tertimpa suatu musibah berupa kelelahan, sakit, kesedihan, gangguan, atau duka cita, bahkan duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapus sebagian dosanya dengan musibah itu." (HR. Bukhari dan Muslim)

Setiap ujian adalah cara Allah membersihkan dosa dan meninggikan derajat hamba-Nya. Karena itu, orang beriman tidak boleh berputus asa, sebab di balik setiap luka, selalu ada rahmat yang tersembunyi.

Allah juga berfirman dalam Surah Al-Hadid ayat 22:

"Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (QS. Al-Hadid: 22)

Kesadaran ini membuat hati menjadi tenang. Semua sudah tertulis dengan ukuran yang tepat. Tidak ada yang kebetulan, semua ada dalam rencana-Nya.

Maka, jangan pernah membenci hidup meski terasa berat. Cintailah takdirmu, karena di sanalah ujian sekaligus peluang untuk meraih pahala besar. Allah tidak akan membebani seorang hamba di luar kemampuannya, sebagaimana firman-Nya:

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari kebajikan yang dikerjakannya dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang diperbuatnya." (QS. Al-Baqarah: 286)

Ayat ini menjadi penghibur bagi hati yang lelah. Sebesar apa pun ujian hidup, yakinlah bahwa Allah sudah mengukur kekuatan kita.

Pada akhirnya, mencintai takdir adalah seni menata hati—menerima, bersabar, bersyukur, dan terus berjuang. Itulah jalan menuju ketegaran sejati.

Dan ketika perjalanan hidup berakhir, semoga kita termasuk golongan yang disebut dalam Surah Al-Fajr ayat 27–30:

"Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku." (QS. Al-Fajr: 27–30)

Itulah puncak mencintai takdir—menutup hidup dengan jiwa yang tenang, karena sepanjang jalan telah belajar menerima, bersyukur, dan tegar di setiap garis takdir Allah.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |