Home > Budaya Sunday, 12 Oct 2025, 20:59 WIB
Kalimat itu melayang dan menabrak dinding kafe yang hangat. Elisa menghela napas, jarinya yang bercincin silver mengetuk-ngetuk meja kayu.

Fiksi AI
Jakarta, bagai raksasa besi yang tak pernah terlelap, senantiasa mengeluarkan bunyi dengkur mesin dan desisan nafas terburu-buru. Di sebuah kafe yang terselip di antara gedung-gedung pencakar langit, empat sosok duduk melingkar. Mereka adalah veteran dalam pertempuran sehari-hari di kota yang zaman dulu namanya Batavia.
Wajah-wajah mereka menyimpan peta kerutan seperti keruwetan lalu lintas kota yang padat, yang menceritakan puluhan tahun perjalanan, sementara mata mereka, meski lelah, masih menyimpan bara ambisi atau mungkin sekadar sisa-sia kebiasaan.
Ada Rendra, dengan kemeja lengan panjang bermotif yang terlalu muda untuk usianya, seolah berusaha menjahit kembali masa remajanya yang terlewat. Di depannya, Elisa, berpotongan rambut bob rapi, gaya bicaranya terukur bagai menteri sedang memberi konferensi pers.
Di seberang meja, Ari, dengan kacamata tebal dan ekspresi yang selalu memendam kalkulasi, bagai seorang arsitek yang terus-menerus merancang ulang blue print kehidupannya. Bima, sosok yang paling diam, namun setiap ucapannya kerap menggantung di udara bagai kabut tebal yang tak kunjung sirna.
“Serius, nih, ya”, kata Rendra, menyentuh gelas kopinya yang hampir habis. “Gue udah mikir, kalo gue udah tua banget, ompong, pikun, gak bisa apa-apa lagi, cuma jadi beban, paling gue bundir aja deh. Bersih. Gak usah repot-repot. Banyak, kok, contohnya di luar negeri. Itu tindakan terhormat untuk tidak merepotkan orang lain”, berbicara dengan nada santai, seperti membicarakan menu untuk makan malam.
Kalimat itu melayang dan menabrak dinding kafe yang hangat. Elisa menghela napas, jarinya yang bercincin silver mengetuk-ngetuk meja kayu. “Rendra, kamu ini selalu dramatis. Hidup ini kan soal persiapan. Lihat orang tua di luar negeri, banyak yang ternyata salah perhitungan. Tempat tinggal yang mereka impikan malah jadi penjara yang membosankan. Jadi, buat apa kita repot-repot kalau ujung-ujungnya menyesal?” katanya, seraya dalam hati ingin agar sahabatnya rasional dalam menjalani hidup.
Penggiat Literasi-Tutor-Penulis & Penerbit Buku -- PALEMBANG - INDONESIA