REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Eko Saputra, Direktur Exekutif Halal Center SI
Kota Bogor memiliki sebuah warisan alam dan ilmu pengetahuan yang tidak hanya menjadi kebanggaan Indonesia, tetapi juga diakui dunia internasional. Kebun Raya Bogor (KRB), atau Bogor Botanical Gardens, diresmikan pada 18 Mei 1817 oleh Prof Caspar Georg Carl Reinwardt. Dengan luas area sekitar 75–87 hektare, KRB menjadi kebun botani tertua di Asia dan menjadi rujukan ilmiah global dalam bidang botani, konservasi, serta edukasi lingkungan.
Sejak awal berdirinya, KRB berperan sebagai pusat riset dan aklimatisasi berbagai tanaman komoditas penting, seperti kelapa sawit, kopi, kina, dan karet. Di era kolonial Belanda, kebun ini bernama ’s Lands Plantentuin te Buitenzorg, sementara pada masa pendudukan Jepang (1942–1945) pengelolaannya sempat diambil alih oleh Takenoshin Nakai, seorang botanis asal Jepang. Pasca kemerdekaan, KRB menjadi bagian dari lembaga riset nasional Indonesia, dahulu LIPI dan kini dikelola oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Hingga kini, KRB menyimpan lebih dari 12.000 spesimen hidup dari ribuan jenis tumbuhan, termasuk koleksi langka dan endemik Nusantara. Koleksi tersebut menjadikan KRB bukan hanya ruang hijau perkotaan, tetapi juga “bank genetik” penting bagi keberlanjutan ekosistem. Upaya konservasi dilakukan tidak hanya melalui perawatan koleksi pohon tua, melainkan juga lewat pengembangan rumah kaca, penelitian taksonomi, hingga kerja sama ilmiah dengan perguruan tinggi seperti IPB University.
IPB memiliki peran besar dalam mendukung konservasi KRB. Penelitian kesehatan pohon, studi tumbuhan obat, evaluasi keanekaragaman tumbuhan, hingga penghitungan ekosistem telah melibatkan dosen, mahasiswa, dan alumni IPB. Bahkan, profesor IPB menegaskan pentingnya menjaga KRB dari ancaman komersialisasi berlebihan yang dapat mengganggu fungsi konservasi. Keterlibatan akademisi lokal ini memperkuat posisi KRB sebagai pusat ilmu pengetahuan dunia.
Selain fungsi ilmiah, KRB juga memiliki nilai spiritual yang mendalam bagi umat Islam, khususnya masyarakat Bogor. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A‘raf: 56).
Ayat ini mengingatkan bahwa menjaga kelestarian alam, termasuk kebun raya, adalah bentuk amal kebaikan. Nabi Muhammad SAW pun bersabda: “Jika kiamat terjadi sementara di tangan salah seorang dari kalian ada bibit kurma, maka tanamlah ia.” (HR. Ahmad). Hadits ini menunjukkan bahwa menanam pohon adalah amal berkelanjutan (sadaqah jariyah) yang manfaatnya dirasakan lintas generasi.
Dari perspektif Islam, keberadaan Kebun Raya Bogor dapat dimaknai sebagai amanah kolektif. Ia bukan sekadar tempat wisata atau rekreasi keluarga, melainkan wahana tafakur untuk melihat kebesaran Allah melalui keragaman flora. Ia juga menjadi sarana edukasi untuk mengajarkan generasi muda tentang pentingnya keberlanjutan (sustainability), menjaga bumi sebagai titipan Allah yang harus diwariskan dalam kondisi sehat dan produktif.
Kini, tantangan besar yang dihadapi adalah keseimbangan antara konservasi dan kebutuhan wisata. Data BRIN menunjukkan bahwa sebagian koleksi pohon KRB mengalami penuaan alami dan sebagian mati karena faktor lingkungan. Oleh sebab itu, masyarakat Bogor dan Indonesia secara umum dituntut ikut serta dalam menjaga, menghormati, dan merawat warisan ini. Kesadaran publik, keterlibatan akademisi, serta dukungan pemerintah harus bersinergi agar KRB tetap menjadi paru-paru hijau sekaligus pusat ilmu pengetahuan dunia.
Kebun Raya Bogor bukan hanya kebanggaan kota hujan, melainkan simbol kecintaan bangsa terhadap ilmu, pengetahuan alam, dan keberlanjutan hidup. Dengan memaknai nilai spiritual Islam dalam konservasi, kita dapat membangun kesadaran kolektif untuk menjaga warisan ini. Karena sejatinya, menjaga kebun raya berarti menjaga kehidupan itu sendiri, bagi kita, anak cucu kita, dan seluruh umat manusia.