Kenapa sih RI Harus Repot-Repot Transisi Energi? Ini Alasannya

3 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Indonesia saat ini terus menggencarkan program transisi energi dari energi berbasis fosil menjadi Energi Baru Terbarukan (EBT). Selain untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, kebijakan ini juga ditujukan untuk menjaga ketahanan dan kedaulatan energi nasional.

Namun, transisi energi ini bukan tanpa upaya dan modal. Indonesia harus mengerahkan aksi nyata dan modal besar untuk beralih ke energi yang lebih ramah lingkungan.

Lantas, mengapa Indonesia harus repot-repot untuk mendorong program transisi energi?

Direktur Manajemen Proyek dan Energi Baru Terbarukan PLN Suroso Isnandar menjelaskan bahwa program transisi energi diperlukan untuk mengurangi emisi karbon dan mencegah dunia dari terjadinya "tragedi iklim" yang akan membahayakan kehidupan manusia ke depannya.

"Dulu zaman waktu masih sering ada kebakaran hutan, polutan CO2 terbesar itu kebakaran hutan. Sehingga kalau ada emisi karbon yang dituding bukan sektor transportasi, bukan sektor industri, tapi sektor kebakaran hutan. Tapi begitu (isu kebakaran) hutan bisa ditangani dengan baik, langsung lah terlihat bahwa ternyata sektor ketenagalistrikan menjadi emitter CO2 terbesar di negeri ini," jelas Suroso dalam acara Launching Electricity Connect 2025, di Jakarta, dikutip Rabu (8/10/2025).

Menurut catatannya, emisi karbon dari sektor ketenagalistrikan saat ini mencapai sekitar 310 juta ton CO2 per tahun, atau sekitar 45% dari total emisi nasional.

"Kalau kita biarkan begitu saja menggunakan business as usual, dengan grafik yang ke atas itu, maka pada tahun 2060 emisi kita lebih dari 1 miliar ton CO2 per tahun. Ini bukan lagi climate crisis, tapi sudah menjadi climate tragedy," tambahnya.

Untuk mencegah kondisi tersebut, PLN menargetkan dapat mencapai net zero emissions (NZE) pada 2060. Salah satu langkah yang ditempuh adalah menghentikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara baru dan secara bertahap mempensiunkan pembangkit yang sudah beroperasi.

"PLN berkomitmen untuk dapat mengurangi emisi gas rumah kaca untuk mencapai net zero emissions tahun 2060," katanya.

Meskipun demikian, menurutnya transisi energi harus tetap mempertimbangkan aspek ketahanan energi (energy security) dan kemandirian pasokan (energy sovereignty). Dengan begitu, peralihan ke energi bersih tidak boleh mengorbankan stabilitas pasokan listrik nasional.

"Pesan dari Bapak Presiden kita, selain transisi energi, jangan semata-mata hanya transisi energi bersih, tapi kemudian tidak mengindahkan swasembada energi. Sehingga swasembada energi harus menjadi landasan strategis. Energy security comes first, then energy transition mengikuti," paparnya.

Selain alasan lingkungan, Indonesia juga memiliki potensi EBT yang sangat besar dan belum tergarap. Berdasarkan data PLN, potensi tenaga surya nasional mencapai 3.000 Giga Watt (GW), tenaga air 95 GW, dan panas bumi 24 GW. Namun, tingkat pemanfaatannya masih sangat kecil.

Menurutnya, keberhasilan transisi energi tidak hanya ditentukan oleh kemampuan teknologi dan investasi, tetapi juga oleh sinergi semua pihak termasuk antara pemerintah, PLN, sektor swasta, dan masyarakat.

Oleh karena itu, PLN menegaskan bahwa transisi energi bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan strategis bagi Indonesia untuk mencapai keberlanjutan ekonomi, kemandirian energi, dan pengendalian perubahan iklim.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Tak Ada Pensiun Dini PLTU, PLN Beberkan Jurus Tekan Konsumsi Batu Bara

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |