Jakarta, CNN Indonesia --
Disinformasi belakangan kian marak di Pakistan lantaran lanskap sosial-politik yang terus diwarnai keterputusan antara negara dan masyarakat, polarisasi yang mendalam, serta ketidakpercayaan yang meningkat.
Mengutip dari European Times, disinformasi di Pakistan bukan hanya menyesatkan, tapi telah berubah menjadi senjata yang memelintir persepsi publik, memanipulasi kebenaran, dan dalam bentuknya yang paling destruktif, mendorong ekstremisme.
Fenomena ini diperparah penggunaan kecerdasan buatan (AI) oleh kelompok-kelompok tertentu untuk menciptakan deepfake - video atau audio buatan yang tampak nyata namun palsu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Teknologi ini telah menimbulkan kekhawatiran global akan datangnya "apokalips informasi," sebuah era di mana fakta dan kebohongan nyaris tak bisa dibedakan. Bagi Pakistan, masa depan distopik itu mungkin sudah menjadi kenyataan.
Dari fitnah ke kekerasan nyata
Disinformasi bukan hal baru di Pakistan. Negara dengan mosaik etnis, agama, dan politik yang kompleks ini telah lama rentan terhadap manipulasi media. Intoleransi politik sering kali memuncak dalam kekerasan berdarah.
Sejumlah kasus tragis mencerminkan hal ini, mulai dari Mashal Khan, mahasiswa yang dibunuh massa karena tuduhan palsu penistaan agama pada 2017, hingga Junaid Hafeez yang dipenjara bertahun-tahun, serta pengacaranya, Rashid Rehman, yang ditembak mati pada 2014.
Gubernur Salman Taseer pun dibunuh pada 2011 karena membela Asia Bibi, perempuan Kristen yang dituduh menista agama. Kasus terbaru, warga negara Sri Lanka, Priyantha Diyawadanage, tewas secara brutal setelah dituduh hal serupa.
Dengan semakin canggihnya teknologi, kelompok ekstremis tak lagi bergantung pada propaganda kasar. Mereka kini memanfaatkan video deepfake, konten buatan AI, dan persona palsu untuk menyebarkan pesan radikal secara presisi seperti menargetkan individu rentan, terutama anak muda, melalui narasi identitas, keluhan, dan panggilan spiritual yang menggoda.
Selama pemilu Pakistan 2024, partai PTI yang dipimpin mantan PM Imran Khan bahkan menggunakan AI untuk menyampaikan pidato Khan dari dalam penjara.
Di sisi lain, video palsu yang menampilkan tokoh PTI seperti Nadeem Haider Panjutha dan Muhammad Basharat Raja, seolah mengundurkan diri atau meminta pendukung tidak memilih, tersebar luas dan sempat membingungkan publik.
Bahkan, partai politik Pakistan kini memanfaatkan pembawa berita virtual hasil AI untuk menyampaikan kampanye mereka, membuat batas antara jurnalisme dan propaganda makin kabur.
Lanjut ke sebelah...