Muhammadiyah di Era Kecerdasan Artifisial

5 hours ago 1

Oleh : Muhammad Muchlas Rowi*

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika KH Ahmad Dahlan mengajarkan surah Al-Maun bukan sekadar untuk dilafalkan, tapi untuk dipraktikkan, ia sedang memulai revolusi dakwah sosial yang melampaui zamannya. Ia tidak hanya mengubah cara umat memahami agama, tapi juga membentuk paradigma baru tentang keberagamaan yang aktif, membumi, dan berpihak pada kaum mustadh’afin.

Kini, lebih dari satu abad kemudian, semangat tajdid itu kembali diuji. Kali ini bukan oleh penjajahan fisik, melainkan oleh gelombang kecerdasan artifisial (KA) dan digitalisasi yang menyentuh hampir seluruh sendi kehidupan.

Di era ini, dakwah tak hanya berlangsung di mimbar masjid, tetapi juga lewat algoritma, chatbot, dan platform digital. Data menggantikan intuisi, dan kecerdasan buatan mulai mengambil peran dalam menentukan arah kebijakan, perilaku publik, hingga gaya hidup generasi muda. Pertanyaannya: apakah Muhammadiyah siap?

Muhammadiyah hari ini bukan organisasi kecil. Ia adalah entitas sosial-keagamaan terbesar di Indonesia, bahkan dunia. Ribuan sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, dan amal usaha tersebar dari pelosok Aceh hingga Papua. Tapi skala sebesar ini juga menghadirkan beban: bagaimana memastikan bahwa organisasi tetap agile, bukan sekadar besar tapi lamban? Digitalisasi dan kecerdasan buatan bisa menjadi jawabannya, jika disikapi bukan sekadar sebagai alat bantu, tetapi sebagai ekosistem perubahan.

Jalan Tengah

Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa negara wajib menyediakan pendidikan dasar secara gratis adalah angin segar bagi keadilan. Tapi ia juga menantang realitas finansial sekolah-sekolah swasta, termasuk Muhammadiyah. Dalam lanskap baru ini, efisiensi menjadi keniscayaan. Sekolah Muhammadiyah tidak bisa lagi mengandalkan pola konvensional. Mereka harus menata ulang strategi operasional dan pembelajarannya. KA bisa hadir di sini: mulai dari manajemen keuangan, perencanaan kurikulum adaptif, hingga asesmen berbasis data.

Di tingkat pembelajaran, KA membuka kemungkinan personalisasi pendidikan. Siswa bisa belajar dengan ritme dan gaya yang paling cocok untuknya. Guru bisa mendapatkan umpan balik real-time tentang perkembangan murid. Bahkan layanan konseling bisa dilakukan dengan bantuan chatbot cerdas yang dirancang untuk mengenali emosi dan memberikan respons awal terhadap persoalan psikologis.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |