
Berbeda dengan masyarakat adat Mpur di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, yang kehilangan tanah mereka, petani di Kecamatan Cilawu, Garut, berhasil mengambil alih lahan. Mereka kini telah lebih dari 15 tahun menggarap lahan yang sebelumnya dikuasai Perhutani dan PTPN VIII.
Mereka telah mampu secara swadaya membangun masjid, pesantren dan sekolah gratis, dan membangun fasilitas air bersih ketika masyarakat adat di Tambrauw dan daerah lain masih berjuang hak agraria. Kini mereka sudah bisa menolak bansos ketika dulu mereka pernah marah karena bansos dikorupsi kepala desanya.
Masyarakat adat di Tambrauw harus berhadapan dengan aparat, tapi tetap kehilangan tanah dan hutan. Petani di Garut bergabung dalam Serikat Petani Pasundan (SPP) juga harus berhadapan dengan preman dan aparat dan berhasil menguasai lahan.
Scroll untuk membaca
Scroll untuk membaca

Di Kalimantan Selatan, sekitar 4.500 petani di Kabuoaten Hulu Sungai Utara pernah menolak kehadiran kebun sawit. Mereka harus berhadapan dengan investor yang telah mengantongi izin HGU atas 10 ribu hektare rawa gambut.
Namun, mereka gagal mempertahankan rawa gambut yang telah menjadi tanah garapan mereka berpuluh tahun. Satu per satu petani didekati, sehingga bersedia melepas lahan garapannya.
Di Kecamatan Daha Selatan misalnya, ada 2.000 hektare rawa gambut yang digarap petani. Saat saya ke sana pada 2017, tinggal 180 hektare yang digarap oleh 21 keluarga. Sekelilingnya telah berubah menjadi kebun sawit dan petani yang bertahan menurun hasil panennya karena kebun mereka terganggu pasokan airnya.
Saat memperjuangkan lahan, banyak laki-laki di Cilawu yang ditahan dan diburu. Maka, ibu-ibu yang maju. “Gak berjuang juga mati, mending berjuang,” ujar Elis, salah satu perempuan yang berjuang mendapatkan lahan di Kecamatan Cilawu, ketika didatangi pendiri Yayasan Posko Jenggala Andi Sahrandi dan aktivis Lukas Luwarso yang didampingi Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria Yudi Kurnia pada Sabtu (9/8/2025),
Elis mengaku selama delapan bulan melawan berhadap-hadapan dengan aparat. Kebal dikata-katai anjing, tak pula surut kendati alat pertanian mereka diambil aparat.
Di Tambrauw, masyarakat tak curiga ketika investor datang membawa alat berat, karena mereka telah menyetujui investor menggarap lahan terbuka untuk uji coba tanaman jagung. Sebelumnya, mereka menolak investor yang akan membabat hutan mereka.
Namun, ketika datang lagi meminta lahan kosong untuk uji coba tanam jagung mereka menyetujui setelah mendapat uang tali asih. “Tiga marga diajak dengan janji uji coba tanam jagung tiga bulan di area alang-alang,” kata Veronica Manimbu pada November 2018.
Saya bertemu dengan Veronica di Walhi Jakarta. Ia bersama Semuel Ariks, jan Sedik, dan pendeta yang mendampingi mereka. Masing-masing marga mendapatkan uang tali asih yang berbeda. “Kita tak tahu apa itu tali asih,” kata Semuel Ariks.
Mereka kaget, ketika tahu hutan meteka sudah dibabat. Rupanya, saat masyarakat sibuk merayakan Natal pada 2017, investor mengerahkan alat beratnya bukan untuk mengolah lahan alang-alang, melainkan untuk membabat hutan.
H Oo Rosyadi (paling kiri) menceritakan pengalaman merebut lahan untuk dijadikan lahan garapan. Pernah dicap sebagai PKI, kini mereka bisa swadaya membangun pesantren, sekolah gratis, masjid, air bersih. Foto: priyantono oemar
Mereka lalu menutup akses ke hutan sehingga harus berhadapan dengan aparat. Lalu mereka meminta dokomen yang telah mereka tanda tangani untuk mendapatkan tali asih.
Mereka ingin tahu isi dokumen secara lengkap. Investor menolak memberikan dokumen, meski masyarakat telah berkali-kali memintanya.
Investor baru memberikan dokumen setelah Sinode GKI mendampingi masyarakat. Isi dokumen itu dianggap merugikan, karena investor akan beroperasi sesuai izin HGU yang diberikan pemerintah selama 35 tahun, berbeda dengan yang disampaikan kepada masyarakat, uji coba tiga bulan.