Ratusan Ribu Petani Beralih Profesi, Ini Penyebabnya

3 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ombudsman Republik Indonesia (RI) menyebut dalam 10 tahun terakhir sekitar 200 ribu rumah tangga petani meninggalkan sektor pertanian. Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menyampaikan hal itu saat memberikan arahan sebelum diskusi Evaluasi Tata Kelola Subsidi Pupuk dimulai di Jakarta, Kamis (25/9/2025).

Yeka menjelaskan, dari gambaran tersebut muncul berbagai indikator. Pertama, ada dugaan tingkat kesejahteraan ratusan ribu rumah tangga itu meningkat. Namun, jika yang terjadi sebaliknya, justru memunculkan persoalan lain.

“Indikator kedua, semakin banyak petani kita ini yang sudah tidak berdaulat terhadap lahannya,” ujar Yeka.

Yeka menuturkan isu tersebut ia temukan langsung saat turun ke lapangan. Ia mengaku sudah mendatangi banyak desa di seluruh Tanah Air. “Tetapi rasanya semakin jarang saya ketemu, kalau ditanya petani, dia punya lahan sendiri,” ucapnya.

Menurutnya, kebanyakan petani yang ia temui sudah berstatus sebagai penggarap, artinya bekerja di lahan orang lain. Lahan mereka sendiri sudah sangat kecil, nyaris tidak bisa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat secara ekonomi. Ia mencontohkan ada yang hanya menguasai lahan sekitar 1.000–2.000 meter persegi.

“Hanya sekitar 0,1 atau 0,2 hektare. Sebanyak 60 persen petani kita menguasai lahan seluas itu. Bayangannya, 1.000 meter persegi itu kira-kira empat kali ruangan ini,” ujarnya saat membuka diskusi di Area Perpustakaan Lantai Dasar Gedung Ombudsman RI.

Ia melanjutkan, dari lahan seluas itu, maksimal hanya bisa menghasilkan Rp300.000 per bulan. Bahkan, kata dia, bisa saja tidak ada hasil sama sekali jika terjadi kegagalan panen.

“Bahkan zonk kalau gagal panen. Nah, itu adalah bentuk ketidakberdayaan para petani kita. Sehingga diskusi kali ini relevan, walaupun hanya berbicara masalah pupuk,” tegas Yeka.

Ia juga menyinggung pernyataan Menteri Pertanian tentang kenaikan Nilai Tukar Petani (NTP). Menurutnya, meski NTP naik dan dijadikan salah satu indikator kesejahteraan, kenyataan di lapangan tidak sesederhana itu.

“Tapi kalau menurut saya, di balik kenaikan NTP itu masih banyak persoalan. Karena apa? Kenaikan sejumlah biaya, misalnya pupuk, upah, dan lain sebagainya, tidak tergambar di situ,” ujarnya.

Begitu juga dengan kegagalan panen, tidak semua tercermin dalam data. Yeka mencontohkan, dalam kunjungannya ke Karawang, ia mendapati seorang petani padi baru saja memanen setelah tiga kali gagal sebelumnya.

sumber : Antara

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |