Jakarta, CNBC Indonesia- Pasar keuangan Indonesia menutup pekan ini dengan catatan impresif. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,59% ke 8.118,30 pada Jumat (3/10/2025), didorong oleh lonjakan saham energi dan teknologi. Saham BREN milik Prajogo Pangestu dan MLPT Grup Lippo memimpin reli, disusul GOTO, ASII, dan AMMN.
Di sisi lain, rupiah juga menunjukkan tajinya, terapresiasi 0,30% ke Rp16.530 per dolar AS, menorehkan reli enam hari beruntun dan menguat 1,17% dalam sepekan - tertinggi kedua di Asia setelah yen Jepang. Tekanan pada indeks dolar (DXY) akibat government shutdown di Amerika Serikat menjadi pemicu utama penguatan ini.
Namun, pekan depan pasar tak bisa lengah. Sejumlah agenda besar menanti.
Dari Dalam Negeri, Cadangan Devisa & Sinyal Konsumsi BI
Bank Indonesia akan merilis Statistik Cadangan Devisa September 2025 pada Selasa (7/10). Data ini penting untuk mengukur kemampuan BI menstabilkan rupiah di tengah fluktuasi global. Jika posisi cadangan devisa tetap di atas US$140 miliar, pasar akan memandang fundamental eksternal RI masih kokoh.
Masih di hari yang sama, BI juga akan mempublikasikan Uang Primer (M0) Adjusted September 2025, indikator yang menggambarkan dinamika likuiditas di sistem keuangan. Lonjakan M0 bisa menandakan ekspansi moneter yang lebih longgar - sinyal positif bagi sektor riil, tapi juga berpotensi memicu tekanan inflasi.
Kemudian, Rabu (8/10), BI menjadwalkan rilis Survei Konsumen September 2025, diikuti Survei Penjualan Eceran Agustus 2025 pada Kamis (9/10). Dua laporan ini menjadi cermin daya beli masyarakat menjelang kuartal terakhir tahun. Jika indeks keyakinan konsumen menurun atau penjualan ritel stagnan, ekspektasi pemulihan domestik bisa terkoreksi.
Sebagai catatan tambahan, pekan ini juga akan digelar Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) pada 8-12 Oktober 2025, forum tahunan yang menjadi barometer pertumbuhan ekonomi syariah dan potensi inklusi keuangan di Tanah Air.
The Fed, Risalah FOMC & Parade Pidato Pejabat
Kamis (9/10) dini hari waktu Indonesia, risalah rapat FOMC akan dirilis. Pasar menantikan sinyal kapan The Fed mulai memangkas suku bunga setelah penundaan data tenaga kerja akibat shutdown.
Sejumlah pejabat Fed seperti Kashkari, Bowman, Barr, hingga Chair Jerome Powell - juga akan berbicara pekan depan. Nada hawkish sekecil apa pun bisa mengembalikan kekuatan dolar dan menekan rupiah, sementara sinyal dovish berpotensi memperpanjang reli pasar saham Indonesia.
AS- Jobless Claims & Sentimen Konsumen
Data Initial Jobless Claims (9/10) diperkirakan naik ke 235 ribu, sedangkan Michigan Consumer Sentiment (10/10) diproyeksikan stabil di 55 poin. Dengan absennya laporan NFP, dua data ini menjadi petunjuk utama arah ekonomi AS.
Jika pasar tenaga kerja menunjukkan pelemahan, ekspektasi pemangkasan bunga akan menguat mendorong arus modal masuk ke negara berkembang, termasuk Indonesia.
China Neraca Dagang Jadi Barometer Komoditas RI
Sorotan lain jatuh ke data neraca perdagangan China yang akan dirilis Senin (13/10). Negeri Panda diproyeksikan mencatat surplus US$102,3 miliar, dengan ekspor tumbuh 4,4% dan impor naik 1,3%.
China adalah mitra dagang utama Indonesia untuk batu bara, nikel, dan CPO.
Jika ekspor China melemah, harga komoditas unggulan RI bisa tergelincir. Sebaliknya, bila data stabil, momentum positif Oktober yang dikenal sebagai "bulan Bear Killer" bisa berlanjut di bursa.
Arah Baru dari Jerman dan OPEC
Dari Eropa, produksi industri Jerman (8/10) dan neraca dagang (9/10) menjadi sorotan. Pelemahan berkelanjutan akan memperkuat kekhawatiran perlambatan global. Di sisi lain, pidato Presiden ECB Christine Lagarde juga dinanti sebagai sinyal kebijakan moneter kawasan.
Untuk pasar energi, data stok minyak mentah AS (9/10) serta laporan bulanan OPEC (13/10) akan menentukan arah harga minyak global. Jika pasokan mengetat dan produksi OPEC tetap rendah, harga minyak bisa kembali naik positif bagi ekspor RI namun sensitif bagi inflasi.
IHSG yang menembus 8.100 dan rupiah yang memimpin penguatan Asia memang mencerminkan optimisme pasar. Namun volatilitas global dan rilis domestik beruntun bisa menjadi "tes stres" berikutnya.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)