Surplus Stok Beras dan Anomali Inflasi Tinggi di Wilayah Timur Indonesia

7 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menyoroti kondisi anomali di tengah tingginya stok beras nasional dan inflasi yang relatif tinggi. Sampai akhir Mei (29/5/2025), stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) mencapai 4 juta ton, tertinggi dalam statistik nasional. Sementara pada Juni 2025, BPS mengumumkan adanya inflasi year-on-year (yoy) sebesar 1,87 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 108,27 dan angka inflasi month-on-month (mom) sebesar 0,19 persen. Beras menjadi komoditas dominan yang menyumbangkan inflasi (0,04 persen), disusul oleh cabai rawit dan bawang merah.

“Surplus beras tertinggi, bersamaan dengan andil besarnya komoditas ini terhadap inflasi, merupakan sebuah anomali. Terlebih lagi, inflasi yoy tertinggi sebesar 3,00 persen berada di Papua Selatan, tempat di mana proyek food estate tengah dikembangkan,” ungkap Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira melalui keterangan tertulis, Senin (7/7/2025).

Rata-rata harga beras berbagai kualitas di Indonesia Timur (Zona 3, meliputi Maluku dan Papua) sebesar Rp19.634 per kg pada pekan pertama Juni. Harga ini jauh melebihi HET Zona 3 yang telah ditetapkan sebesar Rp13.500–Rp15.800 per kg. Harga tertinggi di zona ini adalah Kabupaten Intan Jaya Rp54.772 per kg, Kabupaten Puncak Rp45.000 per kg, dan Kabupaten Pegunungan Bintang Rp40.000 per kg pada medio Juni 2025.

Bhima menilai bahwa ketimpangan pasokan dengan lonjakan harga di zona tertentu menunjukkan kebijakan distribusi yang tidak merata dan rantai pasok yang tidak efisien. Hal ini salah satunya disebabkan tercecernya gabah kering atau beras selama proses distribusi yang panjang. Neraca Bahan Makanan (NBM) BPS tahun 2018–2020 menunjukkan penyusutan kuantitas gabah karena tercecer sebesar 4,92 persen dari total produksi.

Selain menguraikan masalah rantai logistik, Direktur Studi Sosio-Bioekonomi CELIOS, Fiorentina Refani, juga mengungkapkan bahwa ketimpangan harga beras di daerah timur berkaitan dengan politik beras-isasi sebagai rancang bangun pangan nasional yang dibuat pemerintah. Dia menilai, politik beras-isasi menciptakan ketergantungan pangan masyarakat timur terhadap beras. Ditambah konversi lahan secara masif untuk industri ekstraktif, hal ini semakin mengekspos masyarakat di Maluku–Papua terhadap potensi kerentanan pangan.

“Soal ketimpangan pangan ini coba kita lihat saja Maluku Utara yang akhir-akhir ini jadi spotlight publik karena ekspansi tambang dan smelter nikel. Di 2022 total ada 108 izin usaha pertambangan (IUP) dengan cakupan wilayah mencapai 637.370 hektare atau seperlima luas wilayah provinsi tersebut. Belum lagi menghitung konsesi yang dikeluarkan dari 2022–2025 kan,” tutur Fio.

Ratusan ribu hektare konsesi yang terintegrasi dalam industri hilirisasi nikel tersebut merambah hutan dan pertanian produktif. Konsekuensinya, area perladangan warga menyusut drastis, mengurangi pasokan pangan lokal, dan akhirnya bergantung pada konsumsi beras. Berdasarkan data yang dihimpun CELIOS dari Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Maluku Utara, sekitar 85 persen dari total konsumsi beras provinsi ini harus didatangkan dari daerah lain seperti Surabaya dan Makassar.

Fio menambahkan, “Indonesia adalah mega-biodiversity country nomor dua di dunia setelah Brasil. Sayangnya, pola konsumsi kita tidak beragam dan bergantung pada bahan pokok beras. Sistem agrikultur Indonesia hanya diarahkan pada komoditas terbatas, macam ekspansi beras pada daerah yang tidak sesuai secara ekologi maupun budaya masyarakatnya. Ini adalah bentuk pelaparan sistemik yang dilakukan pemerintah.”

Merujuk data yang dihimpun Food and Agriculture Organization (2014), asupan gizi protein dan vitamin Indonesia rendah, tetapi tinggi karbohidrat. Asupan karbohidrat harian rata-rata orang Indonesia sebesar 56 persen, lebih tinggi dari standar 34 persen seperti yang direkomendasikan Komisi Ilmuwan Dunia (EAT-Lancet Commission). Padahal Indonesia memiliki 100 jenis kacang-kacangan, 450 jenis buah-buahan, dan 250 jenis sayuran serta jamur yang bisa menunjang kecukupan asupan protein harian. Hal ini mengindikasikan bahwa keragaman konsumsi pangan di Indonesia cukup rendah.

Selain mengkritisi sistem agrikultur Indonesia yang hanya berfokus pada komoditas tertentu, peneliti Sosio-Bioekonomi CELIOS, Viky Arthiando, juga memaparkan pentingnya pengembangan perekonomian dan pangan lokal.

“Diversifikasi pangan dan penciptaan market lokal artinya bisa memangkas rantai logistik yang berbelit-belit. Dengan begitu, ini bisa mereduksi harga pangan jadi lebih terjangkau sekaligus langkah nyata untuk menstimulus perekonomian masyarakat,” jelas Viky dalam sesi wawancara.

Ia juga menyebutkan kasus Pulau Enggano pada Juni 2025 untuk menekankan betapa krusialnya kelindan rantai logistik, kerentanan pangan, dan krisis ekonomi lokal. “Efisiensi jalur distribusi pangan harus jadi prioritas pemerintah untuk mengatasi ancaman krisis ekonomi yang dialami masyarakat,” pungkas Viky.

Sebelumnya, warga di Pulau Enggano, Bengkulu—pulau terluar yang berada di tengah Samudra Hindia—tiga bulan terisolasi. Gangguan ini menyebabkan konektivitas penumpang dan komoditas lumpuh sehubungan pendangkalan alur di Dermaga Pulau Baai. Padahal, Enggano memiliki produktivitas padi rata-rata 600–840 ton setiap kali panen dan banyak menyokong pangan Bengkulu.

Jejak pertambangan di banyak daerah, khususnya pulau-pulau kecil, juga membawa cerita pendangkalan muara akibat sedimentasi material yang dibawa aliran sungai dari hulu. Masifnya konsesi industri ekstraktif di daerah timur membawa ancaman serupa seperti yang dialami Pulau Enggano, karena transportasi laut merupakan tulang punggung distribusi pasar mereka. Untuk itu, CELIOS menilai pemerintah sudah sepantasnya mengambil langkah melakukan moratorium tambang secara keseluruhan.

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |