3 Terdakwa Bullying dan Pemerasan PPDS Undip dr Aulia Divonis Ringan

3 hours ago 1

Jakarta, CNN Indonesia --

Tiga terdakwa kasus pemerasan terhadap mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anastesi Universitas Diponegoro (Undip) dr Aulia Risma dijatuhi vonis lebih ringan dari tuntutan.

Terdakwa pertama yakni Dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro Semarang Zara Yupita Azra dijatuhi hukuman 9 bulan penjara.

Zara yang merupakan senior dr Aulia itu divonis lebih ringan dari dari tuntutan penuntut umum selama 1,5 tahun penjara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Menyatakan terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 368 Ayat 1 tentang pemerasan secara bersama-sama dan berlanjut," ucap Hakim Ketua Muhammad Djohan Arifin dalam sidang di PN Semarang, Rabu (1/9).

Dalam pertimbangannya, hakim menilai terdakwa yang merupakan residen PPDS Anestesi angkatan 76 meminta para residen angkatan 77 untuk membayar iuran yang digunakan untuk berbagai kebutuhan operasional selama menjalani pendidikan.

Iuran yang harus dibayarkan tersebut diperuntukkan bagi berbagai kebutuhan, seperti penyediaan makan prolong hingga membiayai joki tugas residen senior.

Selain itu, terdapat berbagai tugas yang harus dilakukan oleh residen junior akibat adanya sistem hierarki di lingkungan lembaga PPDS anestesi tersebut.

Hakim menilai perbuatan terdakwa tersebut tidak berdasarkan hukum atau sebagai perbuatan melawan hukum. Hakim juga menilai terdapat relasi kuasa bersifat hierarki.

"Kekuasaan satu pihak atas pihak lainnya," tambahnya.

Menurut dia, terdapat sistem tingkatan antarangkatan yang berlaku turun temurun, serta pemberlakuan pasal dan tata krama anestesi dari senior terhadap junior.

Hakim menilai perbuatan terdakwa tidak mendukung pemerintah dalam mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang ramah dan terjangkau.

Sementara terdakwa kedua Ketua Program Studi Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang Taufik Eko Nugroho dijatuhi hukuman 2 tahun penjara.

Putusan yang dibacakan hakim lebih ringan dibanding tuntutan penuntut umum selama 3 tahun penjara.Hakim sepakat dengan pembuktian pasal dari penuntut umum dalam perkara tersebut.

"Menyatakan terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 368 Ayat 2 tentang pemerasan secara bersama-sama dan berlanjut," katanya.

Dalam pertimbangannya, hakim menilai terdakwa terbukti memerintahkan para mahasiswa PPDS anestesi untuk menyetorkan sejumlah uang yang disebut sebagai biaya operasional pendidikan.

Hakim menilai terdapat relasi kuasa bersifat hirarkis yang mengakibatkan para dokter residen tersebut tidak mampu menolak pengumpulan uang yang ditujukan untuk keperluan ujian itu.

Total uang yang terkumpul selama kurun waktu 2018 hingga 2023 tersebut mencapai Rp2,49 miliar.

Dalam pertimbangannya, hakim menilai perbuatan terdakwa tidak mendukung pemerintah dalam mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang ramah dan terjangkau.

"Terdakwa berbelit-belit dalam memberikan keterangan," tambahnya.

Dalam perkara tersebut, pengadilan juga mengadili staf administrasi Prodi Anestesiolog Fakultas Kedokteran Undip Semarang, Sri Maryani.

Sri Maryani yang bertugas menerima setoran uang biaya operasional pendidikan dari bendahara residen PPDS berbagai angkatan itu dijatuhi hukuman 9 bulan penjara.

Vonis tersebut juga lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), yakni penjara 1,5 tahun.

Majelis menilai pungutan yang dilakukan terdakwa terhadap residen PPDS anestesi tidak memiliki dasar hukum. Biaya ujian dan pendidikan sudah diatur melalui keputusan rektor, dan pungutan di luar ketentuan itu merupakan perbuatan melawan hukum.

"Namun apabila tidak dibayarkan ke kampus atau fakultas secara resmi, tidak diatur oleh kampus, maka bisa dipastikan itu adalah pungutan liar," jelasnya.

Hakim juga menyoroti adanya relasi kuasa antara pengelola program studi dengan mahasiswa residen. Kondisi itu dinilai membuat mahasiswa berada pada posisi inferior dan tidak mampu menolak permintaan pembayaran.

"Terdakwa telah menggunakan relasi kuasa di mana terdakwa sebagai pihak yang superior, memaksa mahasiswa PPDS residen sebagai pihak inferior, untuk menyerahkan uang ujian BOP yang dikontrol oleh terdakwa dengan saksi dr. Taufik Eko Nugroho, sehingga terdakwa mendapat keuntungan," urainya.

Dalam perkara ini, majelis hakim menyatakan Sri Maryani terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sesuai pasal yang didakwakan. Total, terdapat sekitar Rp 2,4 miliar yang diterima dari biaya BOP mahasiswa PPDS Anestesi Undip.

"Menimbang bahwa pembayaran uang BOP yang diminta dan diarahkan oleh Pak dr. Taufik akibat adanya relasi kuasa, mengakibatkan para residen atau mahasiswa sejak 2018-2023 secara terpaksa melakukan penyerahan dana BOP dalam berbagai tahap, melalui bendahara angkatan atau bendahara utama residen. Penerimaan terdakwa mencapai Rp 2.483.424.000," tuturnya.

Hakim juga menyoroti adanya relasi kuasa antara pengelola program studi dengan mahasiswa residen. Kondisi itu dinilai membuat mahasiswa berada pada posisi inferior dan tidak mampu menolak permintaan pembayaran.Atas putusan tersebut, baik terdakwa maupun penuntut umum sama-sama menyatakan pikir-pikir.

Baca selengkapnya di sini.

(antara/isn)

[Gambas:Video CNN]

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |