Jakarta, CNN Indonesia --
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap ada 7 perusahaan asuransi berpotensi rugi sebesar Rp19,34 triliun.
Kepala Eksekutif Pengawasan Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono mengatakan 7 perusahaan asuransi tersebut masuk kategori pengawasan intensif dan khusus.
"Tujuh perusahaan berpotensi mengalami kerugian sebesar Rp19,34 triliun, penurunan nilai manfaat sebesar 52,91 persen," kata Ogi dalam dalam Rapat Panja Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) dengan Komisi XI DPR, Selasa (23/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kendati demikian, Ogi tidak menyebutkan 7 perusahaan yang dimaksud.
Di sisi lain, OJK mengusulkan agar Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bisa ikut menyelamatkan perusahaan asuransi insolvent alias yang tidak mampu memenuhi kewajiban keuangannya. Usulan itu dimuat dalam Revisi UU P2SK.
Ogi mengatakan UU P2SK saat ini sebenarnya sudah memberikan mandat kepada LPS untuk menjalankan Program Penjaminan Polis (PPP). Namun, LPS baru berwenang melakukan penyelesaian terhadap perusahaan asuransi melalui likuidasi.
"Kewenangan untuk melakukan resolusi asuransi insolvent di Indonesia sangat relevan untuk dilakukan sejalan dengan kewenangan program penjaminan polis. Jadi kami usulkan di program penjaminan polis diperluas pasal-pasal mengenai upaya untuk resolusi terhadap perusahaan asuransi insolvent," kata Ogi.
Lantas apa yang membuat perusahaan asuransi merugi? Apa pula dampaknya?
Pengamat Asuransi Ivan Rahardjo mengatakan perusahaan asuransi umumnya merugi karena tata kelola yang buruk dan modal yang cekak. Mereka tidak mampu mengelola keseimbangan antara aset dan kewajiban. Hal itu setidaknya bisa terlihat dari risk based capital (RBC) yang di bawah batas minimal 120 persen.
RBC adalah rasio yang mengukur kemampuan perusahaan asuransi memenuhi semua kewajiban klaim kepada nasabah dengan modal yang dimiliki. Berdasarkan aturan OJK, perusahaan asuransi wajib memiliki RBC minimal 120 persen.
"Kemudian investasi yang tidak berkualitas sehingga tidak bisa ditagih," katanya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (24/9).
Ivan mengatakan potensi meruginya 7 perusahaan asuransi tersebut berisiko meruntuhkan kepercayaan masyarakat kepada industri asuransi. Namun tidak berdampak sistemik karena sumbangan sektor asuransi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih rendah.
"Pada Februari 2025, kontribusinya hanya sebesar 5,16 persen dari total PDB" katanya.
Ivan mengatakan langkah yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi perusahaan asuransi rugi adalah dengan peningkatan pengawasan dan permodalan.
Sementara itu, Pengamat Asuransi Arman Jufry mengatakan asuransi terbagi atas dua, yakni asuransi jiwa dan asuransi umum.
Menurutnya, asuransi jiwa bisa merugi karena kesalahan underwriting. Underwriting adalah proses seleksi dan penilaian risiko calon tertanggung (nasabah) sebelum polis asuransi diterbitkan.
"Kesalahan dalam underwriting bisa sebabkan klaim dan banyak klaim bisa membuat perusahaan rugi," katanya.
Sementara untuk perusahaan asuransi umum, sambungnya, kerugian bisa terjadi ketika muncul long tail claim atau klaim yang baru muncul atau baru selesai dibayar setelah bertahun-tahun sejak polis diterbitkan. Namun, perusahaan tidak mencadangkan premi dengan baik jika sewaktu-waktu terjadi klaim.
"Kalau tidak diantisipasi itu yang menyebabkan rugi. Kalau enggak ada dananya, itu namanya tidak mereserve premi dengan baik. Itu yang sering jadi masalah," katanya.
Arman mengatakan mengantisipasi perusahaan asuransi merugi yang bisa dilakukan adalah proses seleksi dan penilaian risiko calon nasabah dilakukan dengan benar, hati-hati, dan sesuai standar aktuaria (proper underwriting). Kemudian, penetapan premi yang memadai dan menyiapkan dana yang memadai untuk membayar klaim.
"Di samping hal tersebut, pengawasan dari Otoritas Jasa Keuangan sangat krusial dalam rangka melindungi nasabah atau masyarakat agar jangan sampai dirugikan," katanya.
(pta)