REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penyelamatan sumber air kehidupan perlu dilakukan dengan cara paling strategis, seperti 'cuci otak' alias mengubah paradigma. Pendiri Masyarakat Peduli Ciliwung dan Lingkungan Hidup (Mat Peci), Usman Firdaus, mengatakan meskipun upaya konservasi Sungai Ciliwung telah berhasil menaikkan sebagian kualitas air, tantangan terberat yang dihadapi adalah mengubah mindset atau pola pikir masyarakat terhadap sungai.
Firdaus menyoroti merubah perilaku membuang sampah jauh lebih sulit daripada membersihkan fisik sungai itu sendiri. Ia menceritakan bagaimana rendahnya kesadaran ini bahkan berujung pada argumen yang tidak masuk akal dari pelaku.
Firdaus menceritakan pengalamannya saat memergoki oknum yang membuang sampah di Ciliwung. Respons dari pelaku sering kali menunjukkan adanya mentalitas yang menganggap sungai sebagai tempat pembuangan umum.
"Bayangkan kita tangkap tangan, kita tangkap tangan nih orang buang sampah. Siapa lo? Ngelarang-larang buang sampah di kali. Emang kali punya lo? Kita nggak bisa apa-apa," ujar Firdaus menggambarkan betapa sulitnya menyadarkan orang, di ESG Now Movement: Climate Talk yang diselenggarakan Republika, Ahad (28/9/2025).
Ia menambahkan, kehadiran petugas kebersihan dari Pemprov DKI Jakarta, yang dikenal sebagai Pasukan Oranye, juga disalahartikan oleh sebagian oknum.
"Kita bawa Pasukan Oranye. Kalau boleh nggak buang sampah di sini, kerjaan lo apa? Jadi dianggap kalau dia nggak buang sampah dia nggak kerja, Pak. Kan aneh, kan? Berarti artinya mindset" tegasnya.
Menyadari masalah utama terletak pada pola pikir, Mat Peci memfokuskan upaya pada pendekatan edukasi dan perubahan perspektif.
"Kita masih merasa gagal tuh untuk menyadarkan orang. Kenapa? Karena saking beratnya menyadarkan orang," kata Firdaus.
Sebagai solusi jangka panjang, Mat Peci mendirikan Sekolah Sungai Ciliwung dan mengembangkan Eko Eduwisata Ciliwung yang diberi nama Mat Peci Green Camp. Program ini dirancang untuk menanamkan kecintaan dan kesadaran terhadap sungai, mengubah citra Ciliwung dari tempat sampah menjadi aset berharga.
Tujuannya, kata Firdaus, adalah menjadikan Ciliwung sebagai destinasi wisata dan jalur alternatif transportasi air, mencontoh kota-kota maju di dunia, yang dimulai dari semangat untuk mengembalikan fungsi sungai.
Wakil Ketua MPR Eddy Soeparno mengakui pola pikir masyarakat terhadap sungai masih perlu diubah. Ia menceritakan pengalamannya menjumpai seorang ibu di Kota Bogor yang dengan sengaja membuang sampah ke sungai dengan alasan agar sampah tersebut “mengalir ke ujung dan mudah diangkut oleh pemkot”.
“Ada lagi kejadian yang lucu di Marunda. Saat kami imbau para istri nelayan untuk menyampaikan pada suaminya yang melaut agar tidak membuang sampah di laut, jawabannya justru, ‘Pak, justru kalau suami saya melaut, saya titip sampah ke dia’,” ujar Eddy. “Jadi itu kembali lagi mindset yang harus kita ubah.”
Eddy juga mengingatkan tragedi paus yang terdampar dan mati dengan 400 kilogram sampah plastik di dalam perutnya sebagai bukti nyata dampak pencemaran. Ia optimis masalah ini bisa diatasi, dengan mengambil contoh keberhasilan pemulihan Sungai Rhein di Jerman yang hanya membutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk kembali bersih.
“Mereka bisa lakukan, kenapa kita tidak?” tegasnya.
Mereka bisa lakukan, kenapa kita tidak?” tegasnya. Ia menambahkan, pendekatan sektoral yang egois antar-kementerian/lembaga sudah harus ditinggalkan. “Sekarang justru penanganannya harus lintas sektoral. Jangan sampai si A, B, dan C bertanggung jawab sendiri-sendiri tanpa pernah berkomunikasi, jadi tidak pernah terselesaikan permasalahannya," katanya.
Eddy menitipkan pesan tentang urgensi permasalahan lingkungan terutama pencemaran sungai dan air. Ia merujuk banjir besar yang melanda Bali beberapa waktu lalu.
"Kita lihat di Bali kemarin banjir begitu besar, unprecedented, belum pernah terjadi di Bali seperti itu," katanya.
Eddy mengatakan ada tiga penyebab bencana hidrometeorologi. Pertama kerusakan lingkungan, kedua penumpukan sampah dan ketiga, ketidaksiapan kita menghadapi krisis iklim.
"Saya tidak pernah mau mengatakan perubahan iklim saat ini, karena kita sudah masuk dalam tahap krisis iklim. Satu tahap sebelum bencana iklim," katanya.
Oleh karena itu, Eddy menyerukan aksi kolektif. “Jadi ini big issue untuk kita semua. Saya harap semua bisa berpartisipasi. Partisipasinya besar atau kecil itu masalah kedua. Yang penting kita ada pedulian, dan kita ikut turun untuk membahas, serta membereskan hal-hal di lapangan," katanya.