Pengunjung berfoto di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya, Jakarta Timur, Selasa (1/101/204). Setiap tanggal 1 Oktober yang diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila, sejumlah pelajar hingga warga terlihat ramai mengunjungi Monumen Pancasila Sakti untuk mempelajari tentang sejarah. Monumen Pancasila Sakti merupakan salah satu tempat yang menyajikan beragam diorama dan museum untuk mengenang peristiwa pasca-pemberontakan Gerakan 30 September 1965 atau (G30S/PKI) yang menjadi simbol kesaktian pancasila sebagai ideologi negara yang diperingati setiap 1 Oktober.
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Peristiwa Gerakan 30 September atau yang dikenal sebagai G30S/PKI tak pernah lekang dan masih terasa di tengah masyarakat terutama menjelang akhir September. Meski terjadi lebih dari setengah abad lalu, generasi muda khususnya Generasi Z masih dihadapkan pada memori kolektif penuh luka ini. Mereka tidak hanya diwarisi ingatan sejarah, tetapi juga kegelisahan.
Namun, bagaimana sebenarnya anak-anak muda hari ini memaknai tragedi kelam itu? Apakah G30S/PKI masih relevan bagi mereka di tengah gempuran informasi digital dan dinamika politik kekinian?
Republika berbincang dengan beberapa anak muda dari Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman yang lahir setelah masa Reformasi. Dari hasil wawancara yang dilakukan, muncul beragam pandangan yang tidak hanya kritis, tetapi juga menggambarkan upaya mereka untuk memahami sejarah secara lebih utuh dan kontekstual.
Sebagian besar generasi Z mengaku mengenal peristiwa G30S/PKI sejak bangku sekolah. Namun, setelah memasuki dunia perkuliahan atau mulai menggali literatur sejarah lebih luas, mereka mulai menyadari sejarah tidak bisa dipandang hanya dari satu sisi.
Salah satunya, Suhaidi (2002), mahasiswa di salah satu kampus di Sleman. Ia mengaku tahu cukup mengenai sejarah G30S/PKI. Peristiwa itu terjadi karena adanya konflik elite politik yang berujung pada pelanggaran HAM besar-besaran dan akhirnya menelan korban dari kalangan masyarakat biasa.
"Sejauh yang saya tahu adalah upaya kudeta yang dimotori oleh PKI di dalam tubuh tentara. Resimen tentara dari Cakrabirawa melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap enam jenderal yang mereka tuduh sebagai anggota Dewan Jenderal yang bermaksud makar ke Presiden Soekarno," katanya berbincang dengan Republika, Selasa (30/9/2025).
"Banyak yang menjadi korban. Yang paling menyedihkan sebenarnya adalah peristiwa setelah itu, ketika banyak orang yang dituduh komunis dihukum tanpa melalui peradilan yang adil," ujarnya menambahkan.
Ia memaknai peristiwa G30S/PKI sebagai pengingat agar bangsa ini tidak mengulang luka yang sama. Suhaidi juga menegaskan tidak ingin terjebak pada siapa yang salah dan benar dalam narasi sejarah yang kerap dipolitisasi.
"Peristiwa G30S/PKI itu mengingatkan kita pentingnya kesatuan nasional. Kita sebagai bangsa sudah punya Pancasila sebagai ideologi kita. Selain itu elite politik harusnya sadar untuk mementingkan kepentingan rakyat dari pada kepentingan golongan," ucapnya.