REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di ujung utara Kabupaten Sambas, tepat di Dusun Ciremai, Desa Sebubus, ombak Laut Natuna berdebur lembut di bawah langit perbatasan. Di sinilah, di batas antara Indonesia dan Malaysia, hidup sekelompok warga pesisir yang diam-diam menenun kemandirian lewat garam dan ubur-ubur.
Saat Tim Ekspedisi Patriot Universitas Indonesia (UI) tiba di kilang multifungsi milik Bapak Sunaedi, aroma asin laut berpadu dengan tawa para ibu yang sibuk menjemur kerupuk di bawah matahari. “Silakan dicoba, ini kerupuk ubur-ubur kami, namanya Mak Glowing,” ujar seorang ibu sambil menyambut hangat kedatangan tim.
Kerupuk itu bukan sekadar makanan ringan. Ia adalah simbol perubahan: bukti bahwa desa di garis perbatasan pun bisa memproduksi sesuatu yang bernilai dan berpotensi ekspor.
Dari Garam ke Ubur-Ubur: Rantai Nilai yang Tumbuh dari Laut
Bapak Sunaedi, nelayan yang kini beralih menjadi pengusaha mikro, mengawali kisah ini dari kebutuhan dasar — garam.
“Untuk satu kilang ubur-ubur kami butuh delapan puluh ton garam. Kalau pasokan dari luar telat, semua berhenti,” ujarnya.
Dari situ ia berinisiatif memproduksi garam sendiri. Garam buatan Ciremai dikenal memiliki mineral tinggi dan bahkan digunakan untuk terapi air laut oleh warga sekitar.
Produksi garam ini menjadi fondasi ekonomi baru di Sebubus — menopang industri ubur-ubur yang telah lama menjadi identitas masyarakat pesisir. Setiap tahun, pada musim ubur-ubur antara Februari hingga April, nelayan ramai menangkap ubur-ubur, kurau dan kakap cina dari Laut Natuna. Namun, tantangan muncul: harga murah, ketergantungan pada tengkulak, dan proses pengolahan yang lambat karena keterbatasan alat.
Untuk mengatasi itu, Sunaedi mengubah strategi. Ubur-ubur tak lagi dijual mentah, tapi diolah menjadi bernilai tinggi: kerupuk dan bakso produk unggulannya, “Mak Glowing,” kini menjadi ikon ekonomi kreatif Sebubus. Namanya diambil dari cerita ringan para ibu pesisir: “Karena ubur-ubur banyak kolagen, bisa bikin kulit glowing!”
Candaan itu berubah menjadi kekuatan branding. Dengan tagline “Glowing dari Dalam”, Mak Glowing menggabungkan ilmu gizi laut dengan gaya hidup urban — sebuah strategi komunikasi yang cerdas untuk produk desa.
Namun di balik semangat inovatif itu, terdapat kisah perjuangan sederhana. Produksi masih dilakukan dengan alat seadanya — hanya menggunakan chopper mini, digerakkan oleh tenaga manusia.
“Sekarang kami cuma bisa buat dua kilo kerupuk per hari,” ujar Sunaedi. “Padahal kalau ada mesin giling besar, hasilnya bisa sampai tiga puluh kilo per hari. Kami bisa pasok ke Pontianak, bahkan ke luar negeri.”
Keterbatasan peralatan membuat daya saing produk sulit meningkat, namun semangat warga tak padam. Di tangan mereka, setiap kerupuk yang digoreng menjadi lambang ketekunan — hasil dari kerja kolektif, bukan mesin canggih.
Perempuan Pesisir sebagai Penggerak
Yang menarik, mayoritas pekerja di kilang “Mak Glowing” adalah perempuan pesisir. Mereka merendam ubur-ubur, mengaduk, dan menjemur lalu mengemas produk sambil bercanda. Sistem bagi hasil diterapkan sederhana: semakin banyak produksi, semakin besar pendapatan.
Bagi mereka, usaha ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga kebanggaan tersendiri.
Dalam pandangan Tim Ekspedisi Patriot UI, pola ini mencerminkan pemberdayaan berbasis komunitas, di mana perempuan menjadi motor penggerak transformasi sosial-ekonomi tanpa meninggalkan akar budaya mereka.
Penduduk di dusun Ciremai memanfaatkan sumber daya laut secara terpadu: garam, ubur-ubur, dan rencana pengolahan limbah garam menjadi pupuk organik.
Dengan posisi geografis yang berdekatan dengan Malaysia, potensi ekspor produk seperti Mak Glowing semakin terbuka. Apalagi, pasar Malaysia sudah mengenal olahan ubur-ubur cepat saji, namun belum ada produk seautentik Sebubus yang memadukan cita rasa, kolagen alami, dan cerita lokal.
Kunjungan singkat Tim Ekspedisi Patriot UI ke kilang Ciremai berakhir dengan rasa kagum dan renungan. Di tengah perbatasan yang sering dilihat sebagai garis pembatas, masyarakat Sebubus justru menjadikannya garis peluang.
Garam, ubur-ubur, dan kerja keras mereka adalah bentuk lain dari nasionalisme — bukan dengan slogan saja, tetapi dengan kreativitas dan kemandirian.
“Kami mulai dari garam, sekarang kami punya rasa percaya diri. Dari laut kami belajar, dari ubur-ubur kami berdiri,” ujar Sunaedi menutup percakapan.
Kini, ia berharap satu hal sederhana: bantuan mesin penggiling berskala besar agar produksi bisa meningkat, pendapatan bertambah, dan lapangan kerja terbuka lebih luas bagi warga pesisir.
Mungkin, dari Sebubus yang jauh di ujung negeri ini, Indonesia belajar satu hal penting:
Bahwa pembangunan sejati dimulai dari warga yang berani menciptakan peluang di tengah keterbatasan.
Siang itu, di bawah langit cerah dusun Ciremai, Tim Ekspedisi Patriot UI berpamitan. Di tangan mereka masih tersisa beberapa keping kerupuk yang disuguhkan kepada kami, Mak Glowing — oleh-oleh dari warga yang tak hanya menjual kerupuk, tapi juga semangat hidup.
“Kami mulai dari garam, sekarang kami punya rasa percaya diri. Dari laut kami belajar, dari ubur-ubur kami berdiri,” ujar Sunaedi, tersenyum sambil menatap ombak yang pelan-pelan surut.
Sunaedi bukan sekadar nelayan. Ia adalah pejuang inovasi di garis paling luar republik — sosok yang mengajarkan bahwa pembangunan sejati tidak datang dari pusat, melainkan tumbuh dari tangan-tangan yang percaya pada kekuatan alam di sekitarnya.
Dari sosok Sunaedi yang bersahaja, cahaya kecil itu mulai bersinar. Ia bukan pejabat, bukan pengusaha besar, melainkan seorang nelayan sekaligus petani yang percaya bahwa kemandirian lahir dari keberanian mencoba hal baru. Dari tangannya yang berlumur garam dan pikirannya yang tak pernah berhenti berinovasi, lahir semangat yang menggerakkan banyak orang: membangun perbatasan bukan dari gedung tinggi, melainkan dari dapur-dapur kecil di tepi laut.