REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mohammad Sayuti
Mahasiswa Doktoral Teknologi Hasil Perairan (THP), IPB University
Ilmu gizi secara tradisional berfokus pada nutrisi individu dan komposisi makanan (protein, lemak, gula, dll). Namun, seiring dengan percepatan industrialisasi sistem pangan global, epidemiolog Carlos Augusto Monteiro dan rekan-rekannya di Brasil menyimpulkan bahwa sifat dan sejauh mana pemrosesan makanan mungkin merupakan faktor penentu utama dampak makanan terhadap kesehatan, yang melampaui kandungan nutrisi semata.
Kesimpulan ini melahirkan Klasifikasi NOVA pada tahun 2009 yang diperkenalkan oleh para peneliti di University of São Paulo, Brasil, menawarkan kerangka kerja revolusioner untuk mengelompokkan makanan berdasarkan tingkat dan tujuan pemrosesan industri, bukan hanya berdasarkan kandungan nutrisi. Sistem ini membagi makanan menjadi empat kelompok, dengan kelompok yang paling menonjol adalah Ultra-Processed Foods (UPF) atau makanan ultra proses.
UPF juga digunakan oleh FAO, Pan American Health Organization (merupakan bagian WHO), dan sejumlah negara. UPF sering dikaitkan dengan permasalahan kesehatan terutama Penyakit Tidak Menular (PTM). UPF merupakan salah satu jenis pangan dalam NOVA food definition and classification system yang selanjutnya disebut NOVA system. Selain NOVA system terdapat beberapa pengklasifikasian lain seperti SIGA, UNC system, IFPRI/EPIC Classification, dan FSANZ Classification.
Pengelompokan NOVA system untuk Grup 1, Grup 2 dan Grup 3 di kalangan akademisi hampir tidak ada perdebatan. Berbeda dengan Grup 4 (UPF) menjadi fokus utama dan perdebatan karena definisinya berfokus pada proses industri yang kompleks dan penggunaan bahan-bahan yang tidak lazim dalam masakan rumahan, yang menunjukkan pergeseran dari makanan utuh ke formulasi buatan. UPF merupakan pangan dengan berbagai jenis ingredien yang berasal dari kelompok 1 dan kelompok 2 dengan proses pengolahan komplek sehingga dapat langsung dikonsumsi oleh konsumen.
Menurut FAO, pangan dapat dikategorikan sebagai ultra-processed jika mengandung setidaknya satu bahan hasil olahan industri yang tidak umum ditemukan di dapur rumah (whey, gluten, kasein, fruktosa, maltodekstrin) serta BTP yang berfungsi untuk meningkatkan daya tarik sensori produk (perisa, pewarna, emulsifier).
Produk UPF diidentikkan dengan proses industrial dan penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) dan kemasan tertentu untuk membuat produk lebih menarik. Contoh BTP yang saring digunakan antara lain: perisa, penguat rasa, pewarna, pengemulsi, garam pengemulsi, pemanis buatan, pengenta pembuih, antibuih, peningkat volume, bahan pengkarbonasi, pembentuk gel, pelapis. Sedangkan kemasan pangan yang digunakan menarik, biasanya terbuat dari plastik atau bahan sintetis lainnya.
Penerapan teknologi UPF tentunya memiliki dampak yang positif dalam beberapa aspek. Di antaranya proses pengolahan industrial secara umum dapat meningkatkan keamanan pangan dari meminimalkan risiko bahaya mikrobiologis, proses UPF membuat produk lebih stabil dan tahan lama, produk UPF lebih mudah dikonsumsi, lebih simpel dalam penyiapan, serta relatif murah, produk UPF dapat mengatasi defisiensi mikronutrien.
Hasil riset terbaru saat ini menghubungkan konsumsi UPF yang tinggi dengan peningkatan risiko masalah kesehatan walaupun masih ada yang pro dan kontra. Banyak perspektif negatif untuk UPF terutama dari sisi kesehatan, namun di sisi lain terdapat juga kelebihan/kontribusi positif dari UPF yang membuatnya sangat dominan dalam sistem pangan modern.
Hasil temuan terbaru di antaranya dengan mengonsumsi produk UPF yang tinggi dapat menimbulkan risiko kesehatan jangka panjang seperti obesitas, diabetes, kanker, jantung, dan penyakit degeneratif lainnya, menyebabkan gangguan usus dan profil metabolik, dan produk UPF umumnya mengandung tinggi kalori, namun sedikit kandungan zat gizi. Produk UPF umumnya memiliki rasa yang sangat menarik (hyper-palatability), produk UPF dibuat dengan kombinasi lemak, gula, garam, dan perasa kosmetik dalam jumlah optimal yang merangsang pusat kesenangan di otak (sistem reward).
Kombinasi ini melampaui sinyal rasa kenyang alami, sehingga membuat konsumen sulit berhenti makan. Hal ini menyebabkan peningkatan asupan kalori secara pasif sehingga dapat menyebabkan penyakit obesitas dan peningkatan berat badan (karena surplus kalori), yang merupakan faktor risiko utama untuk Diabetes Tipe 2 dan Penyakit Kardiovaskular.
Sebagian besar Produk UPF mengandung kalori tinggi dalam volume kecil (densitas energi tinggi) karena kandungan lemak dan gula yang tinggi serta serat dan air yang rendah. Hal ini menyebabkan konsumen cenderung mengonsumsi lebih banyak kalori sebelum merasa kenyang. Pemrosesan yang intens pada UPF mengubah struktur fisik makanan (food matrix) secara mendasar, yang memengaruhi proses pencernaan dan metabolisme tubuh di mana gula dan karbohidrat halus dalam UPF dicerna dan diserap dengan sangat cepat dan beban glikemik tinggi.
Hal ini menyebabkan lonjakan gula darah dan insulin yang tinggi dan cepat, sehingga dapat menyebabkan penyakit diabetes tipe 2 (resistensi insulin), sindrom metabolik, dan dapat memicu peradangan kronis yang berkontribusi pada penyakit kardiovaskular dan kanker. Produk UPF umumnya rendah serat, vitamin, dan mineral yang berdampak negatif pada kesehatan mikrobiota usus dan mengurangi sinyal rasa kenyang, sementara kekurangan nutrisi esensial melemahkan kesehatan secara keseluruhan.
Produk UPF mengandung zat-zat yang tidak ditemukan dalam masakan rumahan, yang dapat memberikan efek merugikan pada tingkat biologis. Bahan aditif kosmetik (pengemulsi, pewarna, pemanis buatan) ditambahkan untuk membuat produk lebih menarik dan berumur panjang. Beberapa penelitian menunjukkan bahan aditif tertentu, seperti pengemulsi, dapat mengganggu mikrobiota usus (kumpulan bakteri baik). Perubahan mikrobiota usus dikaitkan dengan peningkatan peradangan, disregulasi metabolisme, dan berpotensi memengaruhi fungsi otak yang menyebabkan penyakit kardiovaskular, sindrom metabolik, dan gangguan mental.
Berdasarkan pertemuan antara para akademisi dan Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) pada 16 September 2025, muncul sebuah kritik substansial terhadap konsep UPF. Kritik ini tidak menampik adanya masalah kesehatan yang nyata terkait konsumsi berlebihan makanan olahan UPF tertentu, tetapi lebih berfokus pada kelemahan mendasar dalam definisi dan istilah "ultra-processed" itu sendiri.
Inti dari kritik tersebut adalah bahwa istilah "ultra-processed" secara ilmiah tidak tepat dan menyesatkan (misnomer). Para ahli menyoroti bahwa klasifikasi Grup 4 NOVA (UPF) sebenarnya tidak didasarkan pada tingkat atau intensitas pemrosesan, melainkan pada daftar bahan (ingredients) di dalamnya.
Produk disebut UPF karena mengandung bahan aditif "kosmetik" seperti perisa, pewarna, atau pengemulsi, serta bahan yang tidak umum ada di dapur rumah tangga, seperti pati termodifikasi atau protein terhidrolisis. Oleh karena itu, melabeli kelompok ini berdasarkan "tingkat pemrosesan" dianggap keliru dan memicu konflik, serta dianggap sebagai alarmisme yang tidak ilmiah.
Hasil pertemuan mengakui bahwa penggunaan kata "ultra" bertujuan untuk menciptakan istilah yang kuat dari perspektif kesehatan masyarakat sebagai penanda bahwa makanan ini "berbeda dan lebih buruk" namun tujuan komunikasi ini mengorbankan presisi ilmiah. Dari sudut pandang teknologi pangan, tidak ada justifikasi teknis yang jelas untuk memisahkan "processed" (Grup 3) dari "ultra-processed" (Grup 4), sehingga menciptakan diskontinuitas logis.
Kelemahan signifikan lainnya adalah sifat heterogen dari kategori UPF. Sistem NOVA yang bersifat biner mengelompokkan produk yang secara nutrisi dan dampak kesehatan sangat berbeda. Contohnya, roti gandum dan sereal sarapan yang diperkaya serat dikelompokkan bersama dengan Sugar Sweetened Beverages (SSBs) atau minuman berpemanis gula dan daging olahan. Studi besar menunjukkan bahwa sementara SSBs terkait erat dengan risiko penyakit, produk UPF lain seperti roti dan yogurt justru menunjukkan hubungan yang netral atau bahkan protektif. Lebih jauh, sistem NOVA dinilai memiliki Bias Barat (Western-centric) dan berpotensi salah mengklasifikasikan makanan tradisional penting seperti tahu (tofu) atau gluten sebagai UPF.
Menanggapi kelemahan ini, pertemuan tersebut mengusulkan pendekatan yang lebih konstruktif. Usulan utamanya adalah mengganti istilah "Ultra-Processed Food" menjadi "Formulated Food with Additives" (Pangan Formula dengan Aditif). Istilah baru ini dianggap lebih akurat karena fokus pada metode (formulasi) dan konten (aditif) yang sebenarnya menjadi kriteria, dan mengurangi nada peyoratif/negatif.
PATPI menekankan bahwa debat harus beralih dari "tingkat pemrosesan" menjadi "tujuan dan hasil akhir" dari pemrosesan tersebut apakah proses itu bertujuan untuk meningkatkan keamanan dan gizi, atau semata-mata untuk menciptakan produk hiper-palatabel bernilai gizi rendah. Secara keseluruhan usulan dari PATPI dan akademisi tidak bertujuan untuk menolak semua temuan tentang UPF, tetapi untuk menyempurnakan konsepnya agar lebih akurat secara ilmiah, adil secara budaya, dan dapat ditindaklanjuti secara konstruktif bagi regulator, industri, dan konsumen.
Hasil pertemuan juga menjawab kekhawatiran masyarakat akan hal negatif terkait produk olahan dan menyatakan bahwa pemrosesan pangan merupakan hal yang vital untuk keamanan, keberlanjutan, dan fortifikasi, serta sambil mendidik untuk menjadi konsumen yang cerdas dengan tidak mengonsumsi berlebihan produk olahan yang akan berdampak buruk untuk tubuh dan kesehatan.