REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan pemerintah mengucurkan dana sebesar Rp200 triliun masih menuai kritik dari kalangan ekonom. Direktur Indef Eisha Maghfiruha Rachbini menilai, likuiditas bukan persoalan utama, melainkan kondisi sektor riil yang lemah.
“Pemerintah menganggap bahwa dengan mengucurkan fiskal lebih banyak ke masyarakat, stagnasi ekonomi bisa diatasi. Padahal, masalah utama bukan pada fiskal, tetapi pada sektor riil yang masih terbebani kebijakan dan lingkungan bisnis yang belum kondusif, termasuk rendahnya kepercayaan pelaku ekonomi,” ujar Eisha dalam keterangannya, Senin (29/9/2025).
Ia menuturkan, kebijakan menggeser dana dari Bank Indonesia (BI) ke perbankan untuk meningkatkan likuiditas tidak serta-merta menyelesaikan masalah, apalagi di tengah daya beli masyarakat yang melemah. Dari sisi suplai, sektor riil juga melambat di tengah ketidakpastian tinggi.
Sektor riil menunjukkan pelemahan dengan penjualan kendaraan turun tajam (wholesale -8,6 persen dan ritel -9,5 persen pada Januari–Juni 2025). Indeks PMI manufaktur berada di zona kontraksi sepanjang kuartal II 2025. Investasi asing langsung (FDI) juga turun dari Rp 217,3 triliun menjadi Rp 202,2 triliun akibat ketegangan geopolitik, proteksionisme, dan kompetisi menarik modal global.
Permintaan domestik melemah, terlihat dari konsumsi rumah tangga yang melambat, inflasi naik (Januari–Juli 2025 sebesar 2,37 persen dibanding 1,07 persen pada periode sama 2024), serta peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebesar 32 persen pada semester I 2025 yang makin menekan daya beli.
Indeks Keyakinan Konsumen juga menurun, dari 121,1 pada Maret menjadi 117,8 pada Juni 2025, disertai penurunan ekspektasi penghasilan dari 135,4 menjadi 133,2. Hal ini menandakan pesimisme rumah tangga terhadap prospek ekonomi.
Eisha menekankan, kebijakan fiskal sebagai instrumen APBN seharusnya menjaga keseimbangan ekonomi, bukan membanjiri likuiditas yang justru menimbulkan ketidakseimbangan di pasar keuangan.
“Seharusnya, Menteri Keuangan juga memikirkan dampak penempatan dana tersebut secara lebih komprehensif pada pasar keuangan dan sektor riil. Sebab, injeksi likuiditas berlebihan dapat menimbulkan masalah baru,” ujarnya.
Menurut Eisha, likuiditas bukan masalah bagi bank-bank himbara. Data loan to deposit ratio (LDR) perbankan per Juli sebesar 87 persen, masih di bawah batas aman OJK 94 persen. Pertumbuhan kredit juga terbatas, hanya berbeda 0,1 persen dari pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK).
Per Juli 2025, kredit perbankan tumbuh 6,7 persen dan DPK tumbuh 6,6 persen. Rasio AL/DPK sekitar 27,05 persen pada Juni 2025 dan 27,08 persen pada Juli 2025, termasuk penempatan di surat berharga negara (SBN) dan sekuritas rupiah Bank Indonesia (SRBI) senilai Rp 790 triliun.
Pertumbuhan undisbursed loan tahunan mencapai 9,51 persen pada Juni 2025 dibanding Juni 2024. Di bank-bank persero, pertumbuhan undisbursed loan bahkan 20,9 persen, mencerminkan ketidakpastian dunia usaha.
“Pertumbuhan kredit sebesar 7 persen per Juli 2025 tidak mencerminkan masalah likuiditas, melainkan lemahnya permintaan kredit. Industri dan pelaku usaha menghadapi ketidakpastian tinggi,” jelasnya.
Ia menambahkan, posisi operasi moneter BI pada minggu pertama September 2025 mencapai Rp991 triliun, naik dari Rp904 triliun pada periode sama 2024. Kondisi ini mencerminkan adanya excess liquidity yang tidak tersalurkan ke kredit, melainkan ditempatkan di SRBI karena bunga tinggi. Posisi dana bank di SBN pada periode sama juga naik menjadi Rp 1.545 triliun dari Rp1.505 triliun.
“Tantangan saat ini justru terletak pada lemahnya permintaan kredit. Pemerintah perlu strategi fiskal untuk mendorong daya beli masyarakat. Kebijakan fiskal harus menjadi bantalan guncangan di saat daya beli turun, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah,” tutur Eisha.
Menurutnya, Menteri Keuangan perlu mengeluarkan kebijakan yang mampu memperkuat daya beli dan memperbaiki tingkat kepercayaan konsumen melalui stimulus fiskal agar belanja rumah tangga meningkat.
Eisha menilai, kebijakan stimulus 8+4 yang ada saat ini hanya berupa insentif jangka pendek, seperti potongan pajak dan bantuan, sehingga tidak menyelesaikan persoalan fundamental: stagnasi pendapatan riil dan terbatasnya penciptaan lapangan kerja berkualitas. Tanpa perbaikan distribusi pendapatan dan penguatan permintaan domestik berkelanjutan, efek stimulus akan cepat hilang setelah intervensi fiskal dihentikan.
Ia menegaskan, injeksi likuiditas berlebihan tanpa reformasi struktural di sektor riil dan investasi, serta perbaikan daya beli, akan memperdalam decoupling antara sektor riil dan moneter. Fenomena ini sudah terlihat sejak paruh kedua 2024 akibat pengetatan kebijakan BI sejak pertengahan 2023.
“Reformasi struktural untuk memperbaiki iklim investasi dan usaha mutlak diperlukan guna meningkatkan kepastian berusaha sehingga dunia usaha terdorong berekspansi,” katanya.
sumber : Antara