Perizinan Tambang sebagai Pilar Transisi Berkeadilan

3 hours ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Izin pertambangan dan rencana pengembangan (Plan of Development/PoD) sejatinya bukan sekadar dokumen administratif, ini adalah pilar tata kelola sumber daya mineral dan batubara yang mencerminkan komitmen negara terhadap investasi berkualitas, keberlanjutan lingkungan, dan keadilan sosial.

Di negara maju, proses ini dirancang agar investasi tambang berjalan bukan semata-mata demi keuntungan sesaat, melainkan sesuai norma transparansi, partisipasi publik, dan pertanggungjawaban pascatambang.

Pelajaran dari Australia, Kanada, Amerika Serikat, dan Eropa memperlihatkan bahwa keberhasilan aturan perizinan tergantung pada empat komponen: jaminan finansial reklamasi sejak awal, lisensi sosial (social license), transparansi dokumen lingkungan, dan sanksi hukum yang kuat.

Australia mewajibkan perusahaan tambang menyertakan rencana penutupan tambang dan jaminan finansial sejak awal izin diperoleh. Dengan demikian, pemerintah dan masyarakat memiliki kepastian bahwa setelah operasi berhenti, lahan tidak ditinggalkan dalam kondisi terbengkalai. Tetapi bahkan sistem tegas pun bisa tergelincir jika aspek budaya kurang diperhatikan, kasus Juukan Gorge menjadi pengingat bahwa perlindungan warisan budaya harus menyatu dalam proses perizinan.

Di Kanada, konsultasi formal dengan komunitas adat menjadi syarat mutlak. Dokumen PoD bukan hanya teknis, tetapi juga instrumen negosiasi sosial melalui kontrak manfaat (Impact Benefit Agreements) yang menjamin hak ekonomi dan perlindungan masyarakat lokal. Proses yang panjang kadang dianggap sebagai beban, namun stabilitas sosial dan legitimasi jangka panjang menjadi manfaat yang lebih berdampak untuk masyarakat.

Di Amerika Serikat, lewat National Environmental Policy Act (NEPA), pemilik proyek besar wajib menyusun dokumen Environmental Assessment (EA) atau Environmental Impact Statement (EIS). Dokumen ini tidak hanya mendetailkan dampak langsung, tetapi juga dampak kumulatif dan alternatif lintas sektor. Kritik dan gugatan publik sering muncul, tetapi ini menjadi bagian dari mekanisme kontrol yang demokratis.

Eropa, melalui regulasi EIA Directive dan Mining Waste Directive, menuntut rencana reklamasi, strategi pengurangan karbon, dan keterbukaan publik melalui standar seperti Konvensi Aarhus. Di sana, industri tambang tidak bisa berjalan tanpa memenuhi tuntutan inovasi teknis dan agenda dekarbonisasi yang masuk dalam setiap PoD.

Indonesia harus mengambil hikmah dari pengalaman itu agar tidak terjebak pola lama: izin tambang sebagai pintu ekspansi tanpa tanggung jawab. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menetapkan bahwa mineral dan batubara adalah kekayaan alam yang dikuasai negara untuk kesejahteraan rakyat.

Namun UU tersebut mendapat kritik karena lemahnya jaminan reklamasi sebelum operasi dan rendahnya transparansi sebelum izin diterbitkan. UU ini kemudian direvisi melalui UU Nomor 3 Tahun 2020, yang menambahkan ketentuan penguatan pengelolaan lingkungan, peran pemerintah daerah, dan kewajiban reklamasi pascatambang.

Lebih jauh, baru-baru ini UU Minerba hasil perubahan keempat disahkan (UU Nomor 2 Tahun 2025) yang menghadirkan aturan baru prioritas izin untuk koperasi dan badan usaha kecil, serta pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) oleh kementerian.

Namun kendati regulasi kita semakin lengkap di atas kertas, praktik di lapangan masih lemah. Banyak tambang meninggalkan lubang terbengkalai, reklamasi tertunda, dan dokumen lingkungan sulit diakses publik.

Mekanisme keberatan publik dalam AMDAL ada, tetapi belum menjamin partisipasi bermakna apalagi hak menggugat secara independen. Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU No. 14 Tahun 2008) memberi hak kepada setiap orang untuk mengakses informasi publik termasuk dokumen lingkungan.

Pemerintah dan badan publik wajib menyediakan informasi berkala, segera, dan tersedia setiap saat. Bila akses tidak diberikan, pemohon dapat menggugat ke pengadilan. Inilah ruang kebijakan yang mesti diperkuat: menjamin setiap PoD, dokumen AMDAL, rencana reklamasi, dan laporan kepatuhan tersedia dalam format publik yang mudah diakses dan diverifikasi.

Mengacu pada model negara maju, Indonesia perlu mengadopsi langkah-langkah berikut: pertama, mewajibkan jaminan finansial (escrow atau guarantee bond) sejak awal izin agar kewajiban reklamasi tidak tergantung goodwill perusahaan.

Kedua, mensyaratkan social license melalui konsultasi formal dan perjanjian manfaat dengan masyarakat lokal, terutama di daerah dengan komunitas adat. Ketiga, memastikan transparansi dokumen lingkungan melalui platform digital publik dan hak menggugat yang independen sebagai bagian dari kontrol administratif.

Keempat, memperkaya PoD dengan dimensi dekarbonisasi dan pengelolaan limbah sebagai strategi pendukung visi energi hijau nasional. Kelima, memperkuat penegakan hukum: selama ini pelanggaran izin sering hanya dikenai sanksi administratif ringan. Kita perlu sanksi tegas berupa pencabutan izin, denda besar, dan pengawasan independen agar perizinan bukan sekadar surat kosong.

Langkah-langkah itu tidak mudah, karena banyak pemangku kepentingan yang selama ini diuntungkan oleh kelemahan sistem izin. Namun momentum UU Minerba 2025 harus dimanfaatkan sebagai titik awal reformasi nyata.

Jika kita gagal menata ulang rezim izin tambang sekarang, maka kita mewariskan konflik sosial dan kerusakan lingkungan kepada generasi mendatang. Jika berhasil, perizinan tambang dapat menjadi instrumen transisi yang tidak hanya membuka ruang investasi, tetapi memastikan sumber daya alam kita memberi manfaat jangka panjang, bukan kerusakan abadi.

Izin tambang bukan masalah teknis semata. Ia mencerminkan siapa kita sebagai bangsa yang mewariskan alam untuk anak cucu. Melalui reformasi perizinan dengan jaminan reklamasi sejak awal, legitimasi sosial yang terjamin, transparansi penuh, dan penegakan hukum yang tegas, kita bisa membangun investasi yang berdampak.

Pemerintah didorong untuk mempercepat penerbitan peraturan pelaksana UU Minerba 2025 agar mekanisme kontrol publik dan jaminan keberlanjutan tidak hanya jadi wacana. Mari bersama menjadikan perizinan tambang bagian dari narasi besar Indonesia hijau dan bukan warisan yang rapuh, tetapi fondasi bagi pertumbuhan yang adil dan lestari. Sebuah panggilan positif untuk kebijakan yang berpihak pada rakyat dan lingkungan.


(miq/miq)

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |