REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan uji materi soal penghapusan kolom agama di kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) tidak dapat diterima, karena permohonan tersebut tidak jelas atau kabur. Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan Perkara Nomor 155/PUU-XXIII/2025 di Jakarta, Senin, mengatakan poin-poin petitum yang diajukan pemohon, Taufik Umar, tidak lazim dan tidak pula memiliki dasar hukum yang jelas dan kuat.
“Pemohon pada petitum angka 4 dan angka 5 membuat rumusan petitum yang tidak lazim, tidak konsisten, dan tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan kuat karena tidak terdapat uraian maupun argumentasi hukum yang mendukung dalam rangkaian uraian dalam posita (landasan permohonan),” ucap Suhartoyo.
Selain itu, petitum tidak jelas karena pemohon tidak menjelaskan peraturan perundang-undangan mana yang perlu dilakukan perubahan oleh pembentuk undang-undang. Menurut MK, tidak semua peraturan perundangan-undangan menjadi kewenangan DPR dan pemerintah.
Oleh karena itu, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan tersebut, lantaran permohonan pemohon tidak jelas atau kabur maka pokok permohonan dan hal-hal lainnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena tidak ada relevansinya.
“Menyatakan permohonan pemohon Nomor 155 tidak dapat diterima,” ucap Suhartoyo.
Diketahui, Taufik Umar menguji sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk). Pada pokoknya, dia meminta agar informasi agama di KTP dan KK dirahasiakan.
Menurut Taufik, selain kontraproduktif, informasi agama di KTP dan KK memicu diskriminasi hingga kekerasan sehingga bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemohon menilai data agama warga cukup disimpan dalam chip KTP elektronik tanpa harus ditampilkan. Menurut dia, kolom agama sebaiknya diperlukan sebagai data rahasia, seperti iris mata dan sidik jari.
Dengan cara itu, data agama hanya dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan memiliki wewenang sesuai tugas dan jabatannya. Pada persidangan sebelumnya (3/9/2025), pemohon mengaku pernah menjadi korban diskriminasi dan hampir menjadi korban pembunuhan dalam peristiwa konflik antarkomunitas agama di Poso, Sulawesi Tengah pada beberapa tahun silam.
“Taufik Umar ini dalam perjalanan dari Poso ke Kota Palu itu beberapa kali menemui sweeping KTP, yang mana pada waktu itu Saudara Taufik Umar mengetahui banyak yang mengalami kekerasan dan/atau bahkan pembunuhan karena identifikasi di kolom agama, baik oleh pen-sweeping dari kalangan Muslim, maupun dari kalangan Kristen,” kata kuasa hukumnya, Teguh Sugiharto.
sumber : Antara