Swasembada Pangan di Panggung Dunia: Dari Sawah ke Sidang Umum PBB

5 hours ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Ketika Presiden Prabowo Subianto naik ke mimbar Sidang Umum Ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), ia tidak hanya memilih isu geopolitik Palestina, tetapi juga menampilkan capaian pangan nasional. Bahwa Indonesia mencatat produksi beras dan cadangan gabah tertinggi dalam sejarah, menawarkan bantuan beras untuk Palestina, serta meletakkan visi Indonesia menjadi "lumbung pangan dunia".

Urutan bicara Indonesia yang ditempatkan tepat setelah Brasil dan Amerika Serikat adalah sinyal simbolik yang kuat. Lazimnya, urutan pidato ditentukan berdasarkan tradisi diplomatik. Posisi ketiga bagi Indonesia jelas menunjukkan pengakuan dunia atas peran dan bobot strategis kita. Indonesia tampil tidak lagi sebagai penonton, tetapi sebagai pemain utama dalam tata kelola global.

Pidato Presiden Prabowo membawa pesan penting yaitu Indonesia kini tampil percaya diri bukan hanya sebagai negara demokrasi besar, tetapi juga sebagai kekuatan pangan baru dunia. Dalam bingkai diplomasi, pangan jelas memiliki nilai simbolik dan utilitarian.

Menawarkan bantuan beras pada forum multilateral atau kepada negara yang mengalami krisis adalah bentuk diplomasi kemanusiaan yang efektif, menyampaikan bahwa sebuah negara tidak sekadar mengambil posisi politik, tetapi juga menawarkan solusi riil bagi kebutuhan dasar.

Diplomasi pangan memiliki kekuatan ganda. Pertama, berangkat dari realitas yaitu ketahanan pangan adalah isu global yang semakin genting akibat krisis iklim, perang, dan rantai pasok yang terganggu. Kedua, pangan adalah bahasa kemanusiaan yang universal, dengan menawarkan beras, Indonesia tidak sekadar bicara politik melainkan menyentuh kebutuhan dasar umat manusia.

Langkah ini tentu tidak berdiri sendiri. Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan sejak awal mendorong program swasembada secara sistematis mulai dari memperkuat produksi dalam negeri, membangun cadangan pemerintah, membangun ekosistem pangan melalui koperasi, hingga merancang kawasan swasembada di berbagai daerah.

Dukungan teknis pemerintah, mulai dari irigasi, benih unggul, membangun koperasi desa, hingga modernisasi penggilingan, memberi fondasi nyata bagi komitmen lumbung pangan dunia yang dibawa Presiden ke panggung dunia.

Apresiasi patut diberikan, sebab jarang kita mendengar pemimpin Indonesia menempatkan isu pangan sebagai salah satu narasi utama di forum multilateral setingkat PBB. Selama ini, diplomasi kita kerap terbatas pada isu politik, kemerdekaan, atau lingkungan. Kini, pangan dijadikan instrumen soft power, yaitu sebuah cara memperkuat posisi Indonesia dengan menunjukkan kemampuan memberi, bukan sekadar meminta.

Prabowo memilih momen Sidang PBB untuk menempatkan isu pangan sebagai bagian dari narasi diplomasi besar Indonesia. Itu langkah berani dan strategis.

Walaupun pekerjaan rumah masih banyak yaitu menjaga stabilitas harga beras dalam negeri, memastikan kualitas stok cadangan, hingga memperbaiki distribusi agar tidak menimbulkan paradoks antara surplus produksi dan mahalnya harga di pasar. Namun, sebagai bangsa, kita patut mencatat bahwa pidato Prabowo di PBB memberi pesan penting: Indonesia punya visi, dan visi itu kini diakui dunia.

Bangsa ini lahir dari sawah-sawah yang memberi makan jutaan rakyat. Kini, sawah yang sama bisa menjadi pintu masuk diplomasi global. Dari petani di desa-desa hingga podium megah Sidang Umum PBB, pangan menjadi jembatan baru bagi Indonesia untuk memperkuat kedaulatan dan meneguhkan peran sebagai salah satu kekuatan dunia.


(miq/miq)

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |