Catatan Cak AT: Siswa Korban MBG (2)

2 hours ago 1
 Dok RUZKA INDONESIA) Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Siswa Korban MBG (2). (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Saya selalu percaya bahwa ruang kelas adalah tempat anak-anak belajar membaca, menulis, berhitung. Kalau perlu, mereka juga belajar hal-hal kecil yang membekas, seperti sakit hati saat suratnya ke kepala sekolah dikembalikan tanpa dibaca.

Tapi siapa sangka, di era program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi janji politik Prabowo Subianto, ruang kelas bisa berubah menjadi ruang gawat darurat.

Bukan lagi soal-soal matematika yang bikin pusing, melainkan menu bergizi yang justru bikin muntah berjamaah.

Bayangkan suasana hari itu, atau hari-hari ke depan lagi. Jam istirahat baru saja dimulai, anak-anak berlari gembira, MBG dibagikan dengan nampan impor yang katanya steril.

Baca juga: Larangan Menjual Rokok Kepada Anak Harus Jadi Kesadaran dan Komitmen Bersama

Lima belas menit kemudian, bukan lagi suara riang yang terdengar, melainkan orkestra muntah nasional.

Ada siswa imut-imut yang jongkok di sudut kelas. Ada yang berebut toilet seperti antre tiket konser Coldplay. Dan ada yang pasrah telentang di lantai sambil berbisik, “Bu perut saya demo, lebih heboh dari BEM di Senayan.”

Guru yang biasanya sibuk membetulkan spidol habis, kini berubah jadi tenaga medis dadakan. Meja guru mendadak jadi meja IGD, penghapus papan tulis berganti fungsi jadi kipas darurat untuk murid yang pucat pasi.

Puskesmas kewalahan, ambulans hilir mudik, halaman sekolah dipasangi tenda darurat. Pemandangan mirip film perang, hanya saja musuhnya bukan bom, melainkan ayam basi dan susu kemasan yang lebih manis dari skripsi mahasiswa copy-paste.

Baca juga: Presiden Prabowo Hadiri Prosesi Akad Massal Perumahan Pesona Kahuripan Cileungsi

Di rumah, kepanikan menyebar. Anak muntah, bapak baru di-PHK, ibu tak bisa belanja karena uang habis beli obat. Dari dapur sekolah sampai dapur keluarga, semua ikut menjerit. Sementara di media sosial, badai caci-maki melanda.

Netizen mendadak jadi pakar gizi sekaligus detektif politik. Ada yang menulis, “Puluhan ribu siswa sudah jadi korban, tapi tersangka nihil.” Ada pula yang lebih pedas, “MBG? Bukan Makan Bergizi Gratis, tapi Makan Beracun Gratis!”

Bahkan tak kurang yang berteori, jangan-jangan ini sabotase politik. Kementerian buru-buru rilis dugaan “sabotase” juga, seolah racun ini punya paspor diplomatik. Tetapi mari kita jujur: tragedi ini bukan sekadar salah masak atau nasi basi.

Ada yang lebih dalam: tata kelola. Sultan Hamengku Buwono X sudah mengingatkan, dapur MBG jangan kayak dapur darurat waktu Merapi meletus. Memasak buat jutaan anak bukan main-main. Apalagi anggarannya luar biasa besar.

Baca juga: Aksi Nyata Tebar Wakaf Qur'an Majelis Al-Ghuroba Indonesia di Pelosok Negeri

Bayangkan, anggaran terbesar APBN adalah untuk MBG. Totalnya Rp335 triliun, dengan Rp223 triliun dipotong dari anggaran pendidikan. Masalahnya, murid-murid jadinya bukan hanya dicekoki makanan basi, tapi juga dirampas hak belajarnya. _Double combo KO!_

Sementara itu, beredar pula video di medsos: anak-anak keracunan dengan wajah mengap-mengap, guru marah karena diwajibkan jadi tester menu, baki makanan dicuci sekali celup di air limbah sisa makan.

Ada cerita tentang menu ikan hiu yang tak jelas asalnya, tentang belatung dan bekicot kecil yang ikut masuk dalam porsi. Lengkap sudah: niat baik yang berantakan. Viktor Frankl menyebutnya _paradoxical intention_ —niat baik yang justru menghasilkan sebaliknya.

Bandingkan dengan negara lain. Di Tiongkok, keracunan makanan anak dianggap kejahatan luar biasa. Kepala sekolah bisa dicopot, koki dipenjara, bahkan pelaku kejahatan pangan diganjar hukuman mati jika ada korban meninggal.

Baca juga: Catatan Cak AT: Duka Pesantren Buduran

Pesannya jelas: keselamatan anak bukan statistik di tabel Excel, melainkan urusan hidup-mati. Di Jepang, standar makan siang sekolah lebih ketat dari ujian masuk universitas. Sekali ada nasi basi, kepala sekolah bisa kehilangan jabatan.

Di sana, anak-anak pun belajar _shokuiku_ —pendidikan gizi— bukan sekadar mengisi perut. Di Korea Selatan, ada unit pengawasan khusus yang setiap hari menguji sampel makanan sekolah. Kalau ada keracunan, bukan hanya sekolah yang kena, pemerintah daerah juga bisa dituntut.

Di Indonesia? "Biasa saja," kata Ketua Badan Gizi Nasional (BGN). Anak keracunan dianggap efek samping kecil dari program besar. Kalau di Tiongkok ada hukuman mati, di sini paling banter hukuman mati lampu saat PLN byar-pet di dapur katering.

Lalu, mari lanjut kita bicarakan soal BGN yang seharusnya mengawal program raksasa ini. Struktur lembaga ini aneh bin ajaib. Ketuanya bukan ahli gizi, tapi ahli serangga yang sempat berwacana soal menu jangkrik goreng.

Baca juga: Ini Gejala Rabies dan Cara Pertolongannya

Wakilnya ibu-ibu dengan gaya tangis tak natural yang dijadikan ikon MBG. Selebihnya diisi pensiunan jenderal yang sudah lama kring krontang. Lucu? Tidak. Malahan tragis. Karena MBG tidak butuh ahli serangga, apalagi ahli nangis.

Yang kita butuhkan untuk mengatasi semua kekisruhan ini adalah: Ketua BGN yang ahli gizi, didukung pakar kesehatan masyarakat, manajer logistik, orang-orang yang tahu bagaimana mengelola rantai pasokan pangan skala nasional.

Tanpa itu, niat baik Presiden untuk memberantas stunting dan menyiapkan generasi emas bisa kandas di dapur BGN. Jika niat baik hanya berhenti di slogan, yang lahir justru tragedi. Maka perbaikan struktural BGN mutlak dilakukan.

MBG perlu didesentralisasi. Eksekusinya harus melibatkan kepala daerah: gubernur, bupati, camat, kepala sekolah. Biar mereka berlomba dalam turnamen nyata: siapa yang bisa mengelola MBG terbaik. Ada Gubernur Terbaik MBG, Bupati Terbaik MBG, sampai Sekolah Terbaik MBG.

Baca juga: Datang Tiba-tiba, Abu Bakar Ba'asyir Nasehati Jokowi Agar Mengabdi Pada Islam

Investor juga bisa dilibatkan. CSR perusahaan lokal bisa disalurkan untuk tambahan dana MBG. Komite orang tua pun bisa turun tangan. Tidak perlu chef bersertifikasi yang enggan digaji tiga juta. Orang tua bisa memasak, bisa mengawasi langsung.

Di tingkat pusat, pengawasan tetap harus tegas. Sidak berkala digelar. Jika ada keracunan, kepala sekolah, investor, hingga tukang masak yang lalai bisa dijerat hukum. Bahkan bisa dihukum mati bila sampai menyebabkan kematian massal.

Program ini pun harus tepat sasaran. MBG tidak seharusnya dibagi rata, termasuk ke sekolah dengan murid-murid gemuk yang pantas jadi duta obesitas. Prioritasnya adalah kantong kemiskinan, anak-anak yang benar-benar rawan stunting.

Kalau negara lain bisa tegas dan disiplin, mengapa kita masih sibuk menakar keberhasilan dengan kalkulator politik? Makan siang di sekolah bukan proyek pencitraan, melainkan kontrak moral negara dengan generasi mudanya. Jangan jadikan anak-anak kelinci percobaan birokrasi.

Baca juga: Ketua PKK Depok Cing Ikah Ajak Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

Akhirnya, darurat keracunan MBG ini bukan hanya soal perut melilit, tapi juga akal sehat birokrasi yang ikut mencret. Generasi tembaga, apalagi yang emas, tidak lahir dari makanan basi dan birokrasi bebal.

Generasi emas lahir dari gizi yang sehat, sistem yang jelas, dan niat baik yang diiringi kerja nyata. Jika bangsa lain bisa, kita pun mestinya bisa —asal mau berhenti menjadikan anak-anak sebagai korban absurditas negara yang gemar menertawakan tragedinya sendiri. (***)

Penulis: Cak AT – Ahmadie Thaha/Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 30/9/2025

Read Entire Article
Perekonomian | Teknologi | Alam | Otomotif | Edukasi | Lifestyle |