CNN Indonesia
Senin, 06 Okt 2025 11:18 WIB

Jakarta, CNN Indonesia --
Institute for Essential Services Reform (IESR) mendesak percepatan penerapan transisi energi untuk menanggulangi dampak krisis iklim.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan krisis iklim bukan lagi sekadar ancaman. Ia mengatakan krisis iklim telah nyata terjadi.
"Kita semua tahu mengapa perubahan ini mendesak, krisis iklim bukan lagi ancaman di depan mata, ia sudah nyata dan kita bisa merasakan dampaknya," ujar Fabby saat membuka Indonesia Energy Transition Dialogue 2025 di Hotel Pullman, Jakarta, Senin (6/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fabby mengatakan transisi energi perlu dilakukan bukan karena kehabisan bahan bakar fosil. Langkah ini perlu dilakukan karena bumi tidak lagi mampu menanggung akibat dari pembakarannya.
Untuk itulah, lebih dari 190 negara, termasuk Indonesia, berkomitmen menjaga kenaikan temperatur global di bawah 2 derajat. Komitmen itu dituang ke dalam Perjanjian Paris pada 2015.
Indonesia, sambungnya, telah menunjukkan keseriusannya sejak lama dalam transisi energi. Sejak KTT Bumi 1992 di Rio de Janeiro, Brazil, Indonesia selalu menjadi bagian aktif dari solusi iklim global.
Fondasi transisi energi juga telah diletakkan di masa kepemimpinan Presiden ke-6 Susilo Bambangan Yudhoyono (SBY).
Pemerintah mengaturnya lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) .
"Dan melalui kebijakan-kebijakan seperti kebijakan energi nasional, saya ingat Perpres Nomor 5 Tahun 2006 yang kemudian menjadi dasar dari penyusunan kebijakan energi nasional," ujarnya.
"Pak SBY menanam benih sebenarnya untuk era energi bersih Indonesia dalam kebijakan-kebijakan sesudahnya. Ini adalah legacy yang menjadi tanggung jawab kita untuk dikembangkan," ucap Fabby.
(fby/dhf)